Brilio.net - Namanya Suharjono. Orang sekitar memanggilnya Pak Noo. Saya menemui Pak Noo suatu pagi di warungnya, Jalan Bintaran Wetan, Jogja. Warung Pak Noo ada di seberang Museum Sasmita Loka Jenderal Sudirman, sedikit ke utara.

Pak Noo selalu aktif bergerak di usia 60-an. Sebentar menata kursi, menyapu tepi jalan depan warung, kemudian membantu pengunjung menemukan tempat duduk. Tiba-tiba dia sudah bergeser ke dekat kompor, mengangkat tempe yang baru matang digoreng. Pak Noo menikmati pekerjaan di warung makannya.  

Pak Noo membuka warung nasi di Bintaran Wetan sejak 1985. Tadinya warung ada di trotoar sekitar 10 meter utara Museum Sasmita Loka Jenderal Sudirman. Warung dia pindahkan ke seberang jalan karena dilarang jualan di tempat muasal.

Warungnya sederhana. Menempel pada tembok, berdiri di trotoar menghadap timur. Spanduk penutup dibentangkan demi peneduh sinar matahari. Meja panjang terletak di tengah tempat periuk nasi, dan lauk serta empat panci berisi sayuran. Empat jenis sayur itu lodeh tempe, lodeh terong, bening bayam dan sop. Pelbagai lauk ada di beragam wadah seperti telur, tahu, tempe dan ayam goreng.

Seperti nyaris tidak ada beda dengan warung makan lain di Jogja kecuali satu hal, Pak Noo punya lauk istimewa. Warung Pak Noo populer karena menyediakan tempe garit yang selalu panas baru diangkat dari wajan. Karena keistimewaan ini, dia menamai warungnya, Nasi Rames Tempe Garit Pak Noo.

Saya selalu mengamati, setiap tempe garit matang ditaruh di wadah, sebentar saja ludes. Pada jam berangkat kantor, selalu sulit mencari tempat duduk di warung Pak Noo. Banyak pula yang menunda makan nasi, sekadar menunggu tempe garit matang dari penggorengan.

Nama tempe garit diberikan karena guratan-guratan tipis pisau di kulit tempe. Biasanya menggunakan tempe yang difermentasi dalam daun pisang dengan ukuran kecil. Guratan bertujuan agar bumbu mudah merasuk ke dalam tempe saat digoreng.

Raja Jawa Sultan Hamengkubuwono IX dikenal sebagai penggemar tempe garit. Hidangan kesukaannya di pagi hari berupa   telur rebus setengah matang dicampur garam dan merica, nasi gudeg, nasi liwet beserta laukpauk (semur terung, sayur lodeh, dan tempe garit. Minumannya teh hangat.

Seusai sarapan pagi itu saya mengajak Pak Noo berbincang. Saya bertanya bagaimana asal-usulnya 34 tahun lalu memilih tempe garit sebagai menu andalan. Kata dia, ide muncul karena rasa tempe garit yang istimewa dibanding tempe lainnya. Lebih istimewa karena bumbu memasak yang tidak bersedia dia buka. Pak Noo hanya sedikit membeber cara masak agar tempe garit terasa lebih enak. “Kalau menggoreng ditutup. Lantas api kecil biar rasanya lebih kuat. kalau apinya besar bisa kebrangas,” kata dia.

Setiap hari, Pak Noo bisa menjual kurang lebih 400 biji tempe garit goreng. Untuk nasi, sehari habis 15 kilogram beras. Buka sekitar pukul 06.00 dia sudah akan kehabisan tempe garit pada pukul 09.00 WIB.

Tempe Garit © 2019 brilio.net

Warung Pak Noo di Bintaran Wetan. (Foto Brilio.net/Titis Widyatmoko)

Dengan memilih tempe garit sebagai menu istimewa 34 tahun lalu, intuisi Pak Noo mampu membaca zaman. Saat ini terbukti, orang cenderung mengharapkan sesuatu yang berbeda, sedikit unik dibandingkan tempat yang sudah umum. Termasuk soal makan. Memiliki jualan yang spesial lebih berpeluang direkomendasikan orang lain.

Kekhususan (specialty) seperti warung tempe garit Pak Noo menjadi satu dari sekian surplus dalam menargetkan niche, yaitu porsi pasar yang lebih fokus dan tertarget. Jualan yang fokus pada niche, masih punya banyak keuntungan lain, seperti mengurangi kompetisi, lebih fokus pada produk, dan memperkuat pijakan sebelum melebarkan pasar.

Soal membangun niche demi mengurangi kompetisi juga ditunjukkan Pak Nardi, pedagang es krim hanya berjarak 200 meter sebelah utara warung Pak Noo. Pada sisi sebelah barat tembok Keraton Pakualaman, tepatnya di Jalan Harjowinatan, Purwokinanti, Jogja, Pak Nardi menjajakan es krim yang tidak hanya populer untuk warga Jogja tetapi juga bagi para wisatawan.

Di warungnya yang sederhana, Pak Nardi menjual olahan rujak dengan es krim dengan nama Rujak Es Krim Pak Nardi. Kini, nama warungnya diembel-embeli kata ‘Yang Pertama’ karena sudah banyak produk tiruan.

Pada mulanya Pak Nardi berjualan es krim keliling kampung di Pakualaman. Jualannya terkadang tak habis dalam sehari. Pesaing sudah banyak pula. Pak Nardi berpikir bagaimana menjual es krim yang tidak banyak kompetitor. Dia pun mencoba memadukan es krim buatannya dengan rujak yang telah dicacah. Ternyata makanan kreasi pria bernama lengkap Sunardi ini makin digemari banyak orang.

Rujak Es Krim Pak Nardi, pionir rujak es krim di Jogja © 2018 brilio.net

Rujak es krim di warung Pak Nardi. (Foto Brilio.net/Annisa Amalia Hapsari)

"Iya, kita yang pertama karena dulu belum ada yang jualan kayak gini, dulu bapak nambahin rujak karena es puternya suka nggak banyak yang beli," ujar anak kandung Pak Nardi, Novia kepada reporter Brilio, Annisa Amalia Hapsari.

Kini, usaha Pak Nardi diteruskan anaknya tersebut. Pak Nardi sudah beristirahat total karena mengidap stroke sejak tahun 2010 lalu. Dalam sehari dia bisa menjual 150 porsi rujak es krim. Satu porsi dihargai Rp 7.000. Jika siang hari, antrean panjang selalu tampak di warungnya. Label ‘Yang Pertama’ sangat membantu publisitas usahanya.

Naluri jenius Pak Noo maupun Pak Nardi dalam menemukan niche tidak semudah membalik telapak tangan. Mereka melalui perjuangan jatuh bangun selama kurun tiga dekade. Tidak semata resep rahasia, tetapi ada kerja keras di baliknya. Untuk menjadi nichepreneur, Susan Friedmann dalam Riches in Niches mengungkapkan tiga syarat kunci yang dirangkumnya sebagai Formula GEL.

G adalah growing. Artinya, sebelum memulai harus meyakini bahwa pasar yang akan diambil bakal tumbuh ke depan. Makanan adalah contoh pasar yang nggak ada matinya. E artinya adalah experience. Pak Nardi misalnya, sebelum meracik es krim dengan rujak, berpengalaman memproduksi sendiri es krim yang lembut di mulut. Bahan-bahannya sederhana, seperti tepung hunkwe, gula dan sedikit tepung maizena. Rumus terakhir L adalah Love. Sebelum menemukan niche dan berniat memasukinya, yakinlah kalau ada passion sebagai motivasi untuk terus menekuni.

Kata Susan Friedmann, setidaknya itu tiga syarat sebelum berniat masuk ke dalam jualan yang memiliki niche. Berminat menjadi nichepreneur? Mulai sekarang coba pikirkan niche terbaik yang bisa Anda masuki!