Brilio.net - Makanan bukan lagi sekadar kebutuhan primer untuk mengganjal perut lapar. Dalam perkembangan di era milenial ini, kuliner menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan kesenangan, layaknya berpesiar.

Global Report on Tourism edisi ke-4 yang dirilis UN World Tourism Organization (Organisasi PBB khusus untuk pariwisata) pun menyatakan, perhatian turis untuk wisata kuliner meningkat pesat dalam beberapa tahun belakangan. Kuliner memegang peran penting dalam memberikan pengalaman wisata berkualitas. Situasi ini menumbuhkan optimisme bahwa kuliner ikut menentukan keberhasilan pembangunan kepariwisataan yang muaranya adalah peningkatan perekonomian.

Contoh konkret dari laporan UNWTO itu misalnya, bisa dilihat di Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Warga di sana mampu secara jeli menangkap peluang usaha kuliner berbahan singkong dalam mengangkat perekonomian. Jumlah pengusaha di sana terus bertambah. Sejak tahun 2000 hingga sekarang telah ada sekitar 22 pengusaha dengan jenis olahan yang juga makin beragam.

Namun, sentra ini baru terkenal sejak tahun 2013/2014. Ledok pun kini dikenal sebagai Kampung Telo, sebuah destinasi wisata kuliner rujukan turis berbagai daerah ketika berkunjung ke Salatiga.

kampung telo © 2018 brilio.net

Patung singkong di ujung jalan masuk Kampung Telo/foto: brilio.net/fefy dwi h

Sentra kuliner ini tumbuh bermula dari usaha satu keluarga yang memproduksi gethuk, makanan tradisional berbahan utama singkong yang telah dikenal sejak era penjajahan. Suwarni (80), nama perintis itu. Usaha pembuatan gethuk dijalankan Suwarni sejak ia masih muda di rumahnya di Jalan Argotunggal Nomor 9. Kini usahanya diwariskan ke anak-anaknya sebagai usaha keluarga dengan merek Gethuk Satu Rasa, atau yang lebih dikenal dengan Gethuk Kethek lantaran dulunya di depan rumah itu dipelihara seekor monyet.

Menurut Giyarto (43), salah satu anak Suwarni saat ditemui brilio.net di tempat usahanya, Minggu kemarin, dalam sehari pihaknya menghabiskan 100-150 kg singkong untuk memenuhi permintaan pelanggan yang datang dari berbagai daerah sekitar Salatiga, seperti Solo dan Semarang. Bahan baku singkong diantar tiap hari oleh penyuplai dengan harga saat ini Rp 2.000 per kg.

Pelanggan Gethuk Kethek memang berasal tidak jauh dari Salatiga. Sebab, gethuk yang dibanderol Rp 12.000 per dus ini hanya bisa bertahan paling lama enam jam karena dibuat tanpa pengawet. "Mungkin ini yang jadi kelebihan kami," sebut Giyarto. Selain perorangan, ada juga pedagang di Salatiga yang kulakan di tempatnya.

Giyarto mengaku tidak melakukan inovasi produk. Pihaknya lebih mengutamakan menjaga kualitas gethuk, ketimbang membuat jenis makanan lain berbahan sama. "Kalau untuk olahan lainnya di sini sudah banyak yang membuat. Jadi pembeli bisa ke sana. Kita kalau kehabisan, juga kita arahkan ke toko lain," tandasnya.

Salah satu inovator olahan singkong modern adalah Hardadi (48) yang membuka usaha dengan merek Singkong Keju D-9. Aneka olahan seperti singkong keju, singkong keju cokelat, dan singkong sambal matah, membuat outlet dan Cafe D-9 di Jalan Argowiyoto I Nomor 8A menjadi salah satu yang paling sibuk pengunjung.

Usaha yang dirintis sejak 2009 itu awalnya berupa warung tenda di Alun-alun Salatiga. Hardadi berkreasi untuk membuat singkong goreng yang sesuai dengan selera orang zaman sekarang. "Enam bulan baru ketemu rasa dan tekstur yang pas," ujar pengelola Singkong Keju D-9 sekaligus kakak Hardadi, Diah.

Varian singkong itu terus dikembangkan lewat trial and error sehingga kini telah ada tujuh varian rasa masakan matang yang bisa dinikmati di lokasi. Salah satu yang banyak digemari adalah singkong keju yang dipadukan sambal matah. Pihaknya juga membuat olahan yang dibekukan sehingga bisa tahan lama untuk oleh-oleh. "80% pelanggan dari luar kota," sebut dia.

Selain bisa dibeli dan dinikmati langsung di Kampung Telo, olahan juga dipasarkan lewat reseler yang tersebar di luar kota, seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota di Jawa Tengah.

Dalam sehari, D-9 bisa menghabiskan 4-5 ton singkong. Angka ini tidak bisa dipenuhi petani di Salatiga, sehingga harus mendatangkan dari luar daerah seperti Wonosobo dan Temanggung. Itupun ada kalanya pasokan singkong masih kurang, misalnya saat kemarau di mana panen petani juga turun. "Untuk singkong kita tidak bisa menyetok karena akan rusak. Kita mengikuti alam karena bahannya dari alam," urai Diah.

Aneka varian rasa ini sekaligus membuat singkong goreng 'naik kelas'. Penggemarnya tidak lagi orang-orang tua, anak-anak dan remaja pun menyukainya. Singkong yang selama ini dianggap makanan ndeso menjadi digemari masyarakat dari semua lapisan ekonomi.

kampung telo © 2018 brilio.net

Pengunjung Cafe Singkong Keju D-9 di Kampung Telo/foto: brilio.net/fefy dwi h

Kampung Telo tidak pernah sepi dari pengunjung, apalagi saat hari libur. Ratusan mobil maupun motor datang silih berganti membuat kawasan yang berada di permukiman dengan jalan sempit itu pun makin terasa sesak. Banyak dari mereka sengaja datang untuk menikmati kuliner singkong.

"Tujuannya ya memang ke sini menikmati singkong keju," ujar Sulistiyowati (36), pengunjung asal Pati. Wanita yang mengaku gemar kuliner ini sudah dua kali ke Kampung Telo setelah tahu kawasan ini dari temannya. Belum puas menikmati olahan di lokasi, Sulis pun membeli yang masih mentah untuk digoreng sendiri di rumah.

Lurah Kelurahan Ledok, Muhammad Kalimi menuturkan, pihaknya selalu bersinergi bersama para pengusaha, lewat paguyuban yang telah dibentuk, untuk terus mengembangkan potensi sentra kuliner ini. Sinergi itu di antaranya menghasilkan kegiatan rutin bulanan dan tahunan. Kegiatan tahunan misalnya, membuat seminar dengan menghadirkan nara sumber berkompeten, sehingga bisa memberi pengetahuan tambahan bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya.

Pihaknya juga melakukan pendampingan bagi pengusaha yang sudah maju maupun yang baru merintis. Caranya, pengusaha pemula bisa menitipkan produknya di toko milik pengusaha yang sudah maju. Pemerintah kelurahan juga mendampingi pengusaha dalam pengurusan izin kesehatan untuk kelayakan produk yang mereka edarkan. "Kelurahan tidak memungut apapun. Tidak ada pemasukan keuangan desa dari sana. Semua langsung untuk kesejahteraan warga," terang Kalimi.

Menyerap korban PHK dan difabel

kampung telo © 2018 brilio.net

Pekerja merampungkan pembuatan cothot di Cafe D-9/foto: brilio.net/fefy dwi h

Lebih lanjut Kalimi menyebut, setidaknya ada empat dampak yang dirasakan warganya berkat destinasi kuliner ini. Yakni, mendorong tumbuhnya wirausaha di bidang yang sama, membuka lapangan kerja, pemasukan kas warga dari perparkiran, serta menjadikan desa terkenal. "Otomatis perekonomian meningkat," tegasnya.

Di kampungnya, sejumlah warga yang pernah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) kini menggantungkan asa di sektor wisata kuliner ini. Kebanyakan korban PHK sudah cukup tua sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru sebagai karyawan pabrik.

Sukini (62), warga Ngaglik RT 2 RW 11, Ledok menceritakan, di kampungnya itu dulu banyak warga yang jadi korban PHK. Bagi yang usianya masih cukup muda, mereka mencari pekerjaan baru. Sedangkan yang usianya sudah tidak produktif, ikut terjun dalam usaha olahan singkong. "Adanya ini (sentra Kampung Telo) bisa mengurangi pengangguran," sebutnya. Sukini sendiri bekerja menjadi tenaga pengupas ketela untuk bahan membuat gethuk di toko gethuk P2.

Salah satu korban PHK, Bekti (54), warga Kelurahan Ledok RT 8 RW 3 menceritakan, dua tahun lalu dirinya di-PHK setelah 27 tahun kerja di pabrik tekstil di Salatiga. "Mau daftar lagi di pabrik, usianya sudah tidak diterima. Jadi sejak 2 tahun lalu kerja di sini," sebut karyawan Singkong Keju D-9 itu.

Meski sudah berusia lebih dari setengah abad, alumni Akprind Jogja ini mengaku butuh bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Apalagi ia masih punya tanggungan membiayai dua anaknya yang kuliah di UMS Sukoharjo dan UII Jogja. Sedangkan sang suami bekerja di salah satu koperasi simpan pinjam di Salatiga.

Pekerja lainnya, Suminem (59), warga Ringinanom RT 1 RW 1, Ledok mengaku memilih memilih mengisi hari tuanya dengan bekerja, meski hampir semua anak-anaknya telah berkeluarga. "Kalau suami saya dulu wiraswasta, tapi sekarang di rumah karena kondisi sudah tua," tuturnya.

Selain untuk ekonomi keluarga, menurutnya, bekerja memberi kesibukan yang produktif. Jauh lebih bermanfaat daripada nganggur di rumah. "Di sini gajinya mingguan," katanya di sela-sela kesibukan membuat cothot. 

Tidak hanya menyerap tenaga usia non-produktif, sentra ini juga banyak mempekerjakan tenaga-tenaga produktif. Salah satunya Viki Fuad Arinugroho (31), warga Ngawen Tegalsari RT 5 RW 1, Sidomukti, Salatiga. Ayah satu anak ini mengaku sudah tiga tahun bekerja di Cafe D-9.

Sistem kerja di sana ada dua shift, pagi dan siang. "Selain gaji, ada bonus mingguan, dan bonus bagi best employee per bulannya," ujarnya. Namun, ia enggan membeberkan nominal gaji yang diperolehnya.

Menurut pengelola Singkong Keju D-9, Diah, pihaknya mempekerjakan sekitar 120 karyawan dengan memberdayakan warga sekitar. "Dalam menerima karyawan, kami tidak peduli ijazah. Yang diterima kerja adalah yang paling membutuhkan pekerjaan," ungkap wanita berhijab ini.

Dia mencontohkan, ibu-ibu yang sudah tidak produktif untuk bekerja di pabrik padahal masih punya tanggungan ekonomi, maka yang bersangkutan bisa diterima di D-9. "Bahkan kami juga menerima para difabel, seperti penyandang tunagrahita. Ada juga mantan warga binaan," tandas Diah.

Minim kantong parkir

kampung telo © 2018 brilio.net

Kondisi jalan sempit dan minim kantong parkir/foto: brilio.net/fefy dwi h

Makin terkenalnya Kampung Telo membuat sentra ini ramai pengunjung. Bahkan saat hari libur, bisa sangat sesak. Untuk mencari lokasi parkir mobil saja sulit, sehingga terpaksa memarkir di tepi jalan. Padahal, kondisi jalan sendiri sudah cukup sempit.

Kendala ini sudah ditangkap pemerintah desa. Menurut Kalimi, pihaknya telah menyampaikan usulan agar dibuat showroom di lokasi yang strategis sebagai tempat para pengusaha memasarkan produknya. Tapi sejauh ini belum ada tanggapan. "Mungkin masih dikaji," ucapnya.

Wakil Ketua DPRD Salatiga Fathurrahman berharap Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga memfasilitasi pengembangan Kampung Telo. Menurutnya, perlu duduk bersama antara Pemkot dengan para pengusaha untuk membahas strategi pengembangan ke depan. "Bagus untuk dikembangkan. DPRD ikut mendorong," sebut Fathur saat dihubungi brilio.net.

Namun, Fathur juga realistis bahwa untuk perluasan sentra usaha, seperti pendirian showroom, belum memungkinkan. Dia khawatir, jika pindah malah tidak maksimal karena mereka harus bayar sewa tempat. "Kalau sekarang kan mereka pakai rumah sendiri. Paling memungkinkan membuat kantong parkir," kata dia. Kendati demikian, dia mengakui sejauh ini belum ada pembicaraan DPRD dengan Pemkot khusus terkait pengembangan Kampung Telo.

Sementara itu, Pemkot sendiri mengakui geliat Kampung Telo dalam lima tahun terakhir telah memberikan dampak positif bagi daerah. "Kita ini singkong tidak punya, harus didatangkan dari daerah lain. Tapi berkat kemampuan mengolah singkong ini, sekarang bisa mengangkat ekonomi warga," kata Wakil Wali Kota Salatiga Muhammad Haris saat ditemui di Kampung Telo Ledok.

Keberadaan wisata kuliner seperti Kampung Telo ini cocok dikembangkan melihat posisi Salatiga yang dikenal sebagai kota transit wisata. Bahkan, sentra kuliner juga menguatkan branding Salatiga sebagai Kota MICE (meeting, incentive, convention and exhibition). "Pemkot fasilitasi UMKM. Kita libatkan untuk mengikuti pameran-pameran," sebutnya.

Haris juga mengakui, kekurangan dari Kampung Telo ini adalah akses jalan yang sempit dan tidak adanya kantong parkir yang luas. Tapi, pihaknya juga belum menemukan solusi untuk masalah tersebut karena sentra ini sejak awal tumbuh di lingkungan permukiman. "Masyarakat tumbuh alami. Jalan kita perbagus, tapi sulit untuk memperluas karena padat permukiman," tandasnya.

Melihat pertumbuhan sentra kuliner Kampung Telo ini, sebenarnya bisa menjadi role model bagi daerah-daerah lain untuk mengembangkan potensinya di bidang serupa. Wisata kuliner, selain tidak membutuhkan potensi alam yang indah, bisa dikembangkan di manapun dengan mengangkat kekhasan masing-masing daerah.

Sekarang ini, Pemprov Jawa Tengah juga fokus mengembangkan objek wisata dengan pendekatan berbeda dari biasanya, yakni dengan membentuk Desa Wisata. Menurut data Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, kunjungan wisatawan Jawa Tengah tahun 2017 sebanyak 38,5 juta.

Angka ini juga diikuti pertumbuhan desa wisata dari 177 desa pada 2016 menjadi 229 desa pada 2017. "Sekarang sedang dipersiapkan Raperda Wisata Desa," ungkap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat penganugerahan Abiwara Pariwisata 2018, Kamis (11/10).