Brilio.net - Seseorang yang baru lulus universitas terkemuka menolak tawaran gaji Rp 8 juta sebulan. Dia merasa lulusan kampusnya layak dihargai lebih dari itu.

Keluhan orang itu sertamerta tular, menyulut komentar banyak orang. Kata artis Dian Sastrowardoyo yang satu almamater, kesempatan belajar saat bekerja tak bisa dipadankan uang. Zaman sedang susah, dapat kerjaan saja sudah Alhamdulillah.

Artis Melanie Subono menyarankan si baru lulus agar minum anggur atau piknik. Seperti kata pujangga Romawi Horatius, minum anggur bisa bikin jiwa benderang. Filsuf Yunani Plinius Si Tua menimpali seabad kemudian, in vino veritas. Anggur mengandung kebenaran. Barangkali maksud Melanie, sekolah tinggi dan banyak uang, semestinya garansi mulut dan hatinya benar.

Tampak sedikit pihak membela si baru lulus. Kubu pembela menyebut unggahan itu sikap ekpresif anak muda bertemu drainase uneg-uneg masa kini, media sosial.

Andaikata diungkapkan dengan bahasa lebih merdesa dan tertata, mungkin tak mengundang cerca. Sah-sah saja menghargai kemampuan sendiri di hadapan korporasi.  

Tengok hasil survei global Deloitte terhadap 10.455 milenial dan 1.844 Generasi Z tahun lalu di 36 negara termasuk Indonesia. Sebanyak 63 persen responden menjawab uang menjadi alasan prinsipil memilih pekerjaan. Persentasenya paling tinggi dibandingkan ‘kesempatan untuk belajar’ yang menjadi prioritas keempat dengan 48 persen responden.

Kontradiktif dengan uang sebagai pertimbangan utama, kesiapan memasuki  dunia kerja belum bisa mengimbangi. Pepatah Jawa bilang nggege mongso. Menginginkan sesuatu yang belum waktunya.

Masih dari survei Deloitte, sebagian besar milenial berterus terang sudah mengetahui Industri 4.0 sedang membentuk lingkungan kerja saat ini. Mereka memperkirakan transformasi lebih besar akan datang. Namun, hanya empat dari 10 milenial (36 persen) mengiyakan punya keahlian yang disyaratkan menghadapi kemajuan digital.

Itu masih ditambah hanya 23 persen milenial mengaku mendapatkan modal keahlian dan pengetahuan di dunia kerja dari kampus.  

Belum lama ini saya terlibat diskusi mewakili pencari talenta dengan lingkungan kampus bersama dua profesor dari manca. Sorotan utama kami, kampus belum bisa menyediakan lulusan yang benar-benar siap kerja. Perusahaan harus melakukan training untuk melengkapi keahlian pencari kerja.  

Harus diakui ada mata rantai terputus antara kampus dengan dunia kerja. Tangan iseng tapi kreatif sejak lama menjadikan fenomena ini lelucon. Simak obrolan P yaitu pencari kerja, sedangkan B calon majikan.

P: I need a job
B: You don’t have experience
P: But I need to work to get experience
B: Then work
P: Thats why I’am here
B: Experience
P: How am gonna get experience without work
B: Work!

Obrolan itu niscaya berpilin terus bagai kelindan. Ibarat debat mana duluan oranye sebagai warna atau selaku buah. Untuk mengurainya dunia kampus maupun pencari kerja perlu sama-sama berbenah.

Kampus Kehidupan © 2019 brilio.net

Tugiyati Cindy, sehari-hari petugas kebersihan tetapi ternyata pemain Timnas Indonesia. (Foto Brilio.net/Syamsu Dhuha)


Bagi dunia kampus, tantangan terbesar para dosen adalah menjadi relevan. Dosen, apalagi mata kuliah pemasaran atau komunikasi, jika tidak main media sosial itu kesalahan besar. “Untuk menjangkau mereka, dosen harus mengerti dunia mereka dan mengobrol dengan bahasa mereka,” demikian Gary Vaynerchuk, enterpreneur yang menularkan ilmu lewat banyak buku laris.

Menurut dia, dalam kurun sebulan saja sudah ada platform atau aplikasi baru yang butuh waktu dipelajari. Dalam lingkungan bisnis melaju deras, tidak ada yang bisa membantu pencari kerja kecuali kesadaran, naluri, waktu, dan kesabaran. Semua itu hanya bisa didapat bukan di bangku kuliah tetapi di kampus kehidupan.

Suami istri pakar manajemen Jack dan Suzy Welch barangkali akan tertawa membaca keluhan si baru lulus soal Rp 8 juta. Tertawa adalah jawaban hampir semua orang-orang sukses saat ditanya Jack dan Suzy, apa pekerjaan pertama mereka.

AG Lafley, bekas CEO Procter and Gamble mengawali karier sebagai prajurit angkatan laut. CEO Netflix, Reed Hastings pertama bekerja menjajakan mesin penghisap debu dari pintu ke pintu. Indra Nooyi, CEO Pepsi mula-mula resepsionis. Teladan para investor, Warren Buffet berawal dari loper koran.

Bung Karno sebelum jadi Bapak Bangsa, arsitek yang jarang laku.

Maka dalam Winning, buku yang dipuji Warren Buffet mewakili semua kitab manajemen pernah ada, Jack dan Suzy Welch menilai uang bukan satu-satunya konsideran saat memilih pekerjaan. Selain menghasilkan, pekerjaan seharusnya juga menyenangkan dan bermakna.

Bekerja tidak hanya mengharapkan extrinsic reward, yang secara fisik diberikan ketika mencapai sesuatu. Ada pula intrinsic reward, berupa pengakuan tidak berwujud biasanya datang dari dalam diri yang melalukan.

Tempo hari kami menemui Tugiyati Cindy, 34 tahun, sedang mengelap meja, menyapu dan menyiram lapangan. Sehari-hari dia bekerja sebagai petugas kebersihan di GOR Klebengan Jogja. Di sela-sela kesibukan bekerja, pada sore hari dia berlatih juggling, running, dan shooting di lapangan tempatnya bekerja. Siapa sangka, petugas kebersihan itu juga pemain tim nasional sepak bola putri Indonesia yang kerap melanglang buana.

Pada hari lain, kami bersua Made Dyah Agustina, 32 tahun, tampil berkebaya wajahnya dirias tebal seperti punakawan. Sehari-hari dia berperan sebagai Inem, menyusuri jalanan Jogja, melakukan apa saja yang bernilai positif di jalan tanpa mengharap imbalan. “Menolong orang apa yang di depan mata perlu saya tolong,” kata Dyah tentang pekerjaannya. Dia pernah ditangkap gara-gara disangka orang gila.

Cindy maupun Made Dyah contoh orang yang mengukur kaya bukan dari harta apalagi Rp 8 juta. Kekayaan bagi mereka berdua, ketika sebagai pribadi menikmati kepuasan hakiki.

Oleh: Titis Widyatmoko

*Tulisan ini juga dimuat di Buku Merdeka.com Inovasi untuk Negeri terbit 17 Agustus 2019.