Brilio.net - Kampung Baciro berdekatan Stasiun Lempuyangan. Jika melewati jalan sejajar sepur dari stasiun ke timur, selepas kolong jalan layang akan bertemu banyak tempat istimewa di Jogja.

Di sebelah utara rel terdapat depo kereta api Pengok. Pada masa kolonial, Depo Pengok berbatasan langsung dengan arena pacuan kuda yang sangat luas. Begitu lapangnya sampai tempat pacuan kuda itu bertepi di Jalan Urip Sumoharjo sekarang. Karena dekat lokasi balap kuda, Jalan Urip Sumoharjo atau Jalan Solo itu dulu disebut Jalan Balapan.

Di sisi selatan rel, ada penjual Lotek Teteg yang punya layah nyaris segede tampah, sehingga pelanggan tidak perlu antre panjang. Ada pula Warung Ijo, menyajikan masakan tradisional Jawa ala rumahan sejak separuh abad lalu. Rasa buntil dan brongkosnya aduhai. Buntil berupa butiran bola-bola kecil daun singkong menyelimuti parutan kelapa yang dibumbui, dimasak dalam kuah bersantan. Brongkos, seperti rawon (khas Jawa Timur) atau gabus pucung (khas Betawi) menggunakan kluwak sehingga kuahnya kelihatan gelap. Bedanya brongkos terasa lebih manis dibandingkan dua saudara jauh.

Pemilik Warung Ijo Siti Zamidah meneruskan pengelolaan dari mertuanya Samirah. Cobalah makan di sana, maka Siti akan selalu menyambut di warung dengan ramah. Pengusaha Sandiaga Uno pernah makan buntil dan brongkos di sini sebelum pemilihan presiden baru lalu. “Mak nyus,” katanya pas ditanya wartawan. Dia meniru Umar Kayam saat menilai rasa makanan.  

Taru Martani © 2019 brilio.net

Suasana di Warung Ijo, Baciro suatu siang. (Foto Brilio.net/Titis Widyatmoko)


Sepelemparan batu dari Warung Ijo, di sekitar dua halte bus Trans Jogja di utara dan selatan jalan yang saling berpandangan, tercium kuat aroma tembakau. Tanpa upaya menghidu, baunya terasa hingga radius 50 meter.

Ihwal bau tembakau berasal dari pabrik cerutu tertua di Indonesia, sekarang bernama PT Taru Martani. Taru artinya daun, martani terjemahannya kehidupan. Nama ini diberikan Sultan Hamengkubuwono IX setelah republik mengambil alih kepemilikan pabrik dari orang Belanda.

Pabrik ini dulunya bernama NV Negresco, berdiri pada 1918. Soal kenapa ada di Baciro, jauh dari kebun tembakau, tak lepas dari letaknya berdekatan  perumahan elit Kota Baru. Dahulu kala Kota Baru banyak dihuni orang kaya Belanda, konsumen utama cerutu. Bukan menjadi persoalan bagaimana mengangkut bahan baku tembakau, sebab lokasi pabrik persis di sisi rel kereta api. Cerutu Negresco berbahan baku tembakau vorstenland pada umumnya tumbuh di lereng  Merapi sebelah tenggara.

Syahdan, pada 1940 wartawan yang juga raja media ketika itu Parada Harahap mengelilingi Jawa selama empat bulan. Parada, satu-satunya etnis Batak di BPUPKI, kepingin melihat sampai tingkat mana industrialisasi di Indonesia seiring pecah Perang Dunia Ke-2. Blusukan keluar masuk pabrik, Parada menuliskan laporan bersambung di koran miliknya Tjaja Timur.

Dalam laporan muhibah ke Jogja, ada tiga pabrik dikunjungi Parada Harahap. Pertama pabrik biskuit Lodji Redjo di Bumijo yang berdiri sejak 1928. Di sini 500 pegawai bekerja hingga giliran malam mengejar permintaan pasar yang meningkat pesat di masa perang. Pabriknya sangat higienis. Bagian kepala pegawai wanita ditutupi kain putih demi menjaga tidak ada sehelai rambut masuk ke adonan tepung bakal biskuit.

Anjangsana kedua menuju pabrik genteng Djajeng Karso. Kekuatan genteng pabrik ini sungguh kondang. Parada takjub, bagaimana genteng bisa tanpa retak diinjak manusia beratnya 81 kilogram, setara bobot juara tinju dunia kelas berat ketika itu Jack Dempsey. Dari laporan Parada kita bisa tahu betapa pesat perkembangan kekuatan genteng sekarang dibandingkan silam. 81 kilogram saja sudah bikin terheran-heran padahal genteng zaman sekarang tidak retak ditimpa beban 180 kilogram sekalipun.

Tempat ketiga dihampiri Parada Harahap: pabrik cerutu Negresco di Baciro. Tanpa penjelasan kenapa Parada Harahap tidak menyambangi Pabrik Besi Watson ketika itu. Bersama Negresco, Watson menjadi dua pabrik paling besar di Jogja sebelum revolusi kemerdekaan.

Taru Martani © 2019 brilio.net

Pintu gerbang PT Taru Martani dari jalan raya. (Foto Brilio.net/Titis Widyatmoko)


Parada Harahap masih menjadi saksi masa keemasan Negresco. Dunia memang mengenal cerutu terbaik dari Havana. Akan halnya cerutu Negresco, dengan kualitas mahir, rupanya mampu menembus pasar ekspor hingga Belanda dan Swiss. Pada pertemuan raja-raja dan pembesar tinggi negeri, cerutu yang disuguhkan bukan lagi dari Belanda atau Kuba, tetapi Made in Djokdja. Sultan Hamengkubuwono IX salah satu penggemar berat cerutu Negresco.

Popularitas cerutu Negresco sampai mengundang penjiplak. Koran Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie tarikh 1924 memberitakan kalau di pasaran beredar banyak Negresco palsu. Bahannya tembakau kerosok kualitas buruk. Kalau yang asli dibungkus kaleng, barang tembakan dibalut karton. Mereknya menggunakan jenis huruf sama persis, memelesetkan Negresco menjadi: Naigara. Rupa-rupanya, pelesetan merek palsu sudah ada sejak dulu kala.

Parada Harahap tidak cuma kagum pada kualitas cerutu Negresco, tetapi lebih pada kepintaran dan kepandaian para perempuan penggulung cerutu. Mereka menjadi mayoritas di antara 600 pengrajin, bekerja dengan tangan tanpa tunjangan mesin. Kemampuan mereka tidak akan bisa disamai penggulung cerutu dari Belanda.

Pekerjaan menggulung cerutu diupah borongan tiap 100 atau 500 batang. Kemudian hasil pekerjaan diperiksa. Ada batas ukuran cerutu diterima atau ditolak pabrik. Umumnya di Belanda, karena sistem borongan orang berusaha secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya menggulung cerutu demi upah besar. Asal tidak melanggar syarat minimal kualitas pabrik sudah cukup.

Tapi beda dengan orang Indonesia pengrajin cerutu Negresco. Umumnya merasa tidak senang menyerahkan hasil pekerjaan yang sekadar baik saja. Dengan lama dikerjakan supaya sangat bagus, meskipun dalam sehari upahnya tidak akan besar. “Orang Indonesia itu suka pada pekerjaan yang bagus,” tulis Parada Harahap.

Tentang kesukaan bekerja tanpa mengharap balasan setimpal sudah lama menjadi subyek penelitian ilmuwan sosial. Dalam alam pekerjaan dewasa ini, ada dua kutub yang membedakan preferensi karyawan dalam bekerja. Satu kutub mereka yang bermental pemberi. Kutub lainnya bermental pengambil.   

Pengambil memiliki ciri khas ingin mendapatkan lebih dari yang mereka berikan. Pengennya kerja dikit gaji gede. Pengambil cenderung fokus pada diri sendiri, mengevaluasi apa yang orang lain dapat tawarkan kepada mereka. Tipe pengambil percaya bahwa dunia adalah tempat yang kompetitif, sehingga untuk berhasil mereka harus lebih baik dari yang lain.

Tipe pemberi lebih memperhatikan apa yang orang lain butuhkan dari mereka. Pemberi lebih suka menyumbang lebih dari yang mereka dapatkan. Seperti pohon anggur, usai berbuah mereka tak pernah berharap balasan, terus menjalar, berbuah dan berbuah. Manusia, ujar Kaisar Roma Marcus Aerulius, seharusnya mencontoh pohon Anggur.

Adam M Grant dalam Give and Take pernah mengungkap sebuah survei di tempat kerja untuk mencari tahu model-model karyawan antara tipe pemberi atau pengambil. Hasilnya hanya delapan persen menggambarkan diri mereka sebagai tipe pemberi. Sebanyak 92 persen sisanya tidak mau memberi lebih atas apa yang mereka dapatkan. Fakta: Di tempat kerja, tipe pemberi adalah jenis yang relatif jarang.

Dalam pengamatan Parada Harahap, pengrajin cerutu Negresco lebih banyak bertipe pemberi dibandingkan pengambil. Sebagai keluaran, sejak berdiri; sempat tutup pada masa revolusi; buka kembali; berganti nama hingga sekarang, kualitas cerutu Taru Martani tak pernah pudar. Kapasitas produksi kini 315.000 batang per bulan. Cerutunya menembus banyak negara.
 
Bagaimana mereka bisa membawa nilai sebagai pemberi? Saya yakin mereka kuat berpegang pada: sapa sing nandur bakalan ngunduh. Siapa yang menanam, pasti akan menuai. Tipikal pemberi mendarahi tangan-tangan terampil pengrajin cerutu turun temurun. Bahkan ada tiga generasi dari satu keluarga bekerja di Taru Martani. Mereka sama-sama meyakini: siapapun bekerja dengan baik, akan menikmati hasil yang baik juga.