Brilio.net - Pandemi Corona bisa dibilang memang semakin mengkhawatirkan. Berbagai informasi terkait COVID-19 terus dibagikan di linimasa. Seluruh tim medis dikerahkan untuk menyembuhkan orang yang terinfeksi virus mematikan itu.

Hingga saat ini sejumlah peneliti terus melakukan pengembangan terkait vaksin yang bisa digunakan untuk menangkal virus Corona. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk memperoleh vaksin tepat.

Beberapa orang mengatakan apakah darah orang yang telah sembuh bisa mengobati pasien dengan penyakit serupa. Tapi benarkah demikian?

Dilansir brilio.net dari nbcnews.com, Rabu (25/3), para peneliti di Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat mengatakan kunci untuk memperlambat penyebaran virus mungkin tersembunyi pada darah pasien yang telah berhasil sembuh.

Penggunaan metode 'serum pemulihan' memang bukan hal yang baru di dunia kesehatan. Metode ini bekerja dengan cara menanamkan antibodi penangkal virus dari darah pasien yang pernah terinfeksi virus yang sama. Meskipun penggunaannya belum merata, namun metode pengobatan ini sudah ada dari seabad lalu.

"Tahun 1918 saat epidemi virus di Spanyol, para ilmuwan melaporkan transfusi darah yang dilakukan oleh pasien yang telah sembuh dapat menurunkan jumlah kematian sebanyak 50% dari orang-orang yang sakit parah," ujar Kepala Departemen Mikrobiologi dan Imunologi di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg, Dr Arturo Casadevall kepada nbcnews.com.

Strategi ini juga pernah diterapkan untuk memperlambat penyebaran polio dan campak. Namun agaknya teknik tersebut tidak terlalu disukai. Kemudian era 1950-an muncul inovasi sains yaitu vaksin modern dan obat antivirus.

Dalam penelitian milik Casadevall dan temannya, Dr Liise-anne Pirofski, mereka berpendapat bahwa mengumpulkan serum dari pasien-pasien yang telah sembuh mungkin menjadi harapan terbaik untuk mengobati COVID-19 sembari menunggu vaksin khusus siap pakai.

Selain itu, Dr Jeffrey Henderson, asisten profesor kedokteran dan mikrobiologi molekuler di Fakultas Kedokteran Universitas Washington mengatakan metode transfusi darah pasien bekas sakit sebenarnya sangat sederhana prosesnya.

"Meski tetap memiliki risiko dalam mentransfusikan darah, namun cenderung aman dilakukan," ujarnya. Selain itu keuntungan lainnya karena hampir semua rumah sakit sudah memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk mentransfusikan darah.

Pasien yang sembuh diklaim berhasil membuat antibodi terhadap patogen yang terinfeksi. Antibodi ini akan ada pada darah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dengan mengumpulkan plasma darah dari pasien yang telah sembuh ini, pasien yang belum pulih bisa mendapatkan harapan hidup.

Sementara itu, Dr Zhang Wenhong, seorang dokter di China juga telah mulai merawat pasien COVID-19 dengan plasma yang dipanen dari penyintas. Hasilnya cenderung positif, terutama ketika metode ini diterapkan pada awal penyakit, meskipun belum diuji secara luas.

Dr Zhang Wenhong mengatakan transfusi darah ini setidaknya bisa memperpendek masa pemulihan dari yang 10 hari menjadi 5 hari. Dengan begitu pasien bisa kembali sembuh lebih cepat dari yang seharusnya.

Zhang juga menyebut bahwa metode ini bukanlah metode baru yang pernah dilakukan di dunia kesehatan. Pengkajian ulang para ahli harus tetap dilakukan secara lebih teliti dan mendalam.