Brilio.net - Kalian pasti nggak asing dong dengan radio. Dulu radio selalu menjadi teman setia keluarga, baik untuk hiburan maupun sumber informasi. Tapi begitu televisi swasta mulai mengudara di Indonesia pada era awal 1990-an, pilihan orang terhadap sumber berita dan hiburan mulai bergeser.

Mereka nggak mau lagi cuma memanfaatkan pendengaran (audio) tapi perlu visual. Televisi jelas jadi jawaban dong. Ini menjadi pukulan telak bagi industri radio. Bisa dibilang saat itu terjadi turbulensi gelombang pertama bagi radio.

Radio © 2017 brilio.net

Dulu sih dengerin radio harus pakai perangkat radio (dreamstime.com)

Lalu muncul anggapan, radio bakal mati. Sebagian anggapan itu mungkin benar. Sejumlah radio dengan brand pas-pasan dan dijalankan lewat manajemen keluarga, berhenti mengudara.

Salah satunya akibat pengiklan mulai meninggalkan radio. Mereka beralih pada televisi yang menawarkan audio sekaligus visual. Tapi, apakah industri radio lantas “tumbang antena”?

Nggak tuh. Rupanya, ada juga hikmah dari kondisi tersebut. Sejumlah radio yang tutup akhirnya diambil alih pemodal baru.

Radio © 2017 brilio.net

Radio bakal mati nih (tnfarmbureau.org)

Lalu muncul nama-nama radio baru yang beken dan keren, seperti IRadio, HardRock FM, Kosmopolitan FM, dan lain sebagainya. Nah sekarang muncul era digital. Lagi-lagi ini pukulan. Gelombang turbulensi kedua yang mesti dihadapi industri radio.

Saat ini, sosial media, internet dan industrinya bukan hanya sekadar mengalihkan minat pengiklan, tapi juga membuat pendengar radio punya pilihan lewat mainan baru mereka, smartphone.

Untuk mendengarkan musik atau informasi nggak perlu lagi radio unit. Lewat perangkat telekomunikasi itu, orang bisa melakukan apa saja. Mau nonton film atau dengar radio gampang tuh. Bahkan mencari berita pun bisa.

Radio © 2017 brilio.net

Sekarang orang paling sering dengar radio di mobil (slate.com)

Smartphone pun menjadi “dewa baru”. Budget iklan akhirnya bergeser lagi ke industri online. Bahkan saat ini hampir 90% budget iklan digital di Indonesia masuknya ke Google, Facebook, dan Youtube. Sisanya diperebutkan industri online lain.

Lagi-lagi muncul anggapan radio bakal mati. Tapi, anehnya radio masih tetap eksis tuh sampai sekarang. Lantas apa yang yang menjadi penyebab radio masih bisa tetap bertahan?   

Menurut M Rafiq, Head Of MRA Broadcast Media Division, radio yang survive adalah mereka yang mampu men-deliver konten lewat dunia internet. Jika hanya mengandalkan saluran frekuensi, kelar deh tuh radio.

Radio © 2017 brilio.net

M Rafiq (tengah) di sebuah acara di Jakarta (brilio.net)

“Radio yang mampu beradaptasi dengan dunia digital, akan selamat. Makanya hampir semua radio besar punya mobile aplikasi,” katanya kepada brilio.net beberapa waktu lalu.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, penetrasi radio malah masih 90%. Ya itu tadi, mereka beradaptasi dengan perubahan.

“Karena mereka sadar. Konten radio harus bisa dikirim ke pendengar lewat semua saluran, khusunya internet. Melalui internet, bisa diberi teks, gambar, bahkan video,” papar Rafiq.

Radio © 2017 brilio.net

Kini dengar radio cukup pakai smartphone (themediaangel.co.uk)

Apalagi saat ini rata-rata pendengar radio adalah generasi milenial yang sebenarnya labil. Jangan berharap deh mereka menjadi pendengar setia.

“Ya lewat smartphone generasi milenial masih butuh radio. Tapi radio yang kontennya seperti apa?,” tanya Rafiq

Karena itu radio harus hadir dalam gadget yang menjadi andalan mereka. “Kalau lo nggak bisa menghadirkan radio di gadget mereka, hidup lo selesai,” tegas Rafiq.

Radio © 2017 brilio.net

Radio sekarang nggak bisa cuma ngandelin frekuensi tapi harus masuk ke dunia digital (brilio/net) 

Inilah yang harus dilakukan radio di Indonesia jika nggak mau masuk dalam sunset industry.