Brilio.net - Film drama keluarga asal Korea berjudul Miracle in Cell No. 7 yang tayang pada 2013 silam, berhasil membuat para penontonnya banjir air mata. Tak heran, kisah kasih sayang antara anak dan ayah dalam film ini sukses menyentuh perasaan setiap orang yang menontonnya. Bahkan pada awal penayangannya, Miracle in Cell No. 7 berhasil menarik perhatian jutaan penonton, tak hanya di negara asal tapi juga di seluruh dunia.

Film karya Lee Hwan-kyung itu sukses membuat banyak negara ingin meremake film tersebut, termasuk terbaru adalah Indonesia. Rumah produksi Falcon Pictures mengumumkan akan menyelesaikan proses syuting di pertengahan bulan Ramadhan.

Produser Falcon Pictures, Frederica mengungkapkan rasa senangnya dapat meremake film ini.

”Kami tertarik untuk meremake film Miracle in Cell No. 7 karena ini film bagus. Bukan hanya di Indonesia, sudah ada beberapa negara yang meremake film ini di antaranya adalah Turki, Filipina, dan India. Falcon Pictures mendapat kesempatan meremake film ini tentunya senang, ya,” ujar Frederica dalam teleconference baru-baru ini.

Dalam garapan film ini, Hanung Bramantyo dipercaya sebagai sutradara.

"Beban kedua setelah film Bumi Manusia. Kalau film Bumi Manusia novelnya sudah besar, dan film Miracle In Cell No.7 ini sudah besar. Banyak orang sudah menontonnya, ceritanya seperti apa, castnya seperti apa, sekarang kita dituntut untuk berbeda tapi tidak keluar jalur. Ini berat banget, tidak ada pelajarannya di kuliah. Sedangkan untuk ceritanya sendiri, ini berada di negara fiktif. Jadi hukumnya juga tidak sama dengan hukum yang ada di Indonesia,” katanya.

Bapak lima anak itu mengatakan bahwa ia menggarap film ini sangat berbeda. Pasalnya mulai dari cerita tentang penjara dan berhadapan dengan badan hukum yang punya hukum berbeda, ia harus bisa mengolahnya dengan tepat.

"Sistem hukum di film ini enggak plek-plekan ambil di Indonesia karena bersinggungan dan berbahaya. Jadi kita meng-create hukum sendiri," jelasnya.

"Jadi misalnya nanti yang nonton nanya kenapa sistem hukumnya beda dengan Indonesia, memang sengaja kita melakukan itu, karena kalau akurat sangat berbahaya," sambungnya lagi.

Kendati film ini merupakan remake, Hanung menegaskan tidak semuanya ia buat sama dengan film asli. Tentu ia buat versi Indonesia mulai dari iklim dan budaya.

"Iklim dan budaya di Indonesia dan Korea berbeda, kalau kita copy paste enggak bakal masuk. Makanya saya bikin reka ulang adaptasi. Selain hukum yang punya kemampuan kontroversial, kita juga melakukan perubahan seperti culture Indonesia misalnya rumah samping rel kereta. Beberapa daerah ada masyarakat yang rumahnya mepet banget sama kereta api, ini sangat menarik. Kereta jadi salah satu alat transportasi kita, tapi kita enggak bisa naik (kereta) karena enggak ada uang tapi kita deket banget," pungkasnya.