Brilio.net - Kesuksesan bisa menghampiri siapa pun tanpa pandang bulu. Namun untuk bertransformasi menjadi pribadi lebih baik dan cakap dalam suatu bidang, satu langkah kecil, konsistensi, dan semangat melakukan sesuatu akan sangat membantu. Hal ini sedikit banyak seperti ungkapan sutradara Rahabi Mandra saat ditanya apa arti film Kadet 1947 baginya.

" ... terhadap cerita Kadet sendiri bahwa mereka ini adalah bukan siapa-siapa, bukan pahlawan gitu, tidak dilihat, tapi ingin memberi kontribusi, ingin berperan, sehingga setiap saya nulis atau terjun ke Kadet itu saya ngerasa relate sekali sama mereka. Bahwa kita semua itu dari nol. Bahwa kita semua itu bukan siapa-siapa. Dan, bila kita ingin membuktikan diri, ya we got to do our best," kata Rahabi dalam kesempatan wawancara eksklusif dengan brilio.net belum lama ini.

Kadet 1947 berkisah tentang kiprah sekelompok anak muda yang meski mereka tak punya nama besar, nyali dan rasa cinta mereka pada Indonesia tak bisa dianggap sebelah mata. Film arahan Rahabi Mandra dan Aldo Swastia ini sejatinya terinspirasi dari peristiwa bersejarah perjuangan TNI AU membalas balik Belanda setelah adanya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Film Kadet 1947 (@kadet1947)

 

Rahabi tak hanya bicara soal Kadet 1947 yang siap tayang di bioskop pada 25 November 2021 mendatang. Kisahnya sebagai sutradara sekaligus penulis skenario film Kadet 1947 menjadi pangkal ia menguak kecintaannya terhadap profesi di dunia perfilman.

Nama Rahabi tak asing, terlebih bagi penikmat maupun orang yang berkecimpung di dunia perfilman Tanah Air. Masih ingat aksi epik Presiden Joko Widodo menaiki motor dalam pembukaan Asian Games 2018 lalu? Rahabi lah dalang di balik adegan tersebut. Ia tak sendiri. Kala itu ia menggandeng teman satu almamaternya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Aldo Swastia sebagai co-director. Alhasil, adegan atraksi orang nomor 1 di Indonesia itu sukses jadi buah bibir khalayak di dalam negeri maupun mancanegara.

Tak berhenti di situ, pada 2017 lalu penghargaan Penulis Skenario Adaptasi Terbaik Festival Film Indonesia berhasil ia bawa pulang. Saat itu, karyanya bareng aktor Teuku Rifnu Wikana dalam film Night Bus berhasil mencuri perhatian dewan juri.

Sudah banyak karya yang Rahabi buat, tak sedikit yang mendapat apresiasi. Semua bermula dari ide-ide cemerlang. Apa rahasia Rahabi mendapatkan ide-ide cemerlang itu?

Bagi sosok yang pernah menjadi asisten sutradara film Habibie Ainun itu, ide bukanlah wahyu yang tiba-tiba datang ke kepala orang.

"Sama kayak orang olahraga, dapat piala atau medali emas gitu nggak bisa tiba-tiba. Pasti ada latihan terus-menerus. Saya percaya ide cemerlang itu datengnya kalau kita latihan terus-menerus berpikir ide-ide, terus brainstorming tiap hari, nggak ada jeda," papar pria 36 tahun tersebut.

Rahabi melanjutkan bahwa andaikata hasilnya jelek, berkarya harus tetap dilanjutkan. Ia pun mengibaratkan membuat film layaknya orang berenang.

"Kita nyebur, terus kita belajar berenang. Semakin kita berenang, semakin kita jago. Jadi ketika nanti tiba-tiba nanti mereka suruh 'Bisa nggak nyelem yang lama?', 'Bisa'. 'Bisa nggak dapetin ide cemerlang?', 'Bisa'. Jadi sudah terlatih membedakan ide bagus dengan ide buruk. Itu kefilter dengan sendirinya," jelas Rahabi.

Selain latihan brainstorming, kunci menghasilkan ide cemerlang menurut Rahabi juga menjaga pola tidur dan makan. Dua hal ini memengaruhi bugar atau tidaknya badan. Saat badan bugar, pikiran pun akan lebih segar dalam menghasilkan ide-ide jenius.

Setelah mendapatkan ide yang cemerlang, proses eksekusi ide juga menjadi poin penting. Chief Creative Officer rumah produksi Temata itu menekankan bahwa dalam proses mentransformasi sebuah ide ke dalam wujud karya, perlu adanya pemahaman potensi tim yang membantu.

"How to see the full potential of other people we need to listen really well, to observe, and pay full attention. Jadi mendengarkan, menyimak, dan memperhatikan dengan betul-betul terhadap pasukan kita, sekeliling kita. Dari situ diharapkan eksekusi ide bisa jadi jempolan," terang Rahabi.

Rahabi: Dealing with people nggak pernah gampang

Rahabi Mandra, dari videografer kawinan ke sutradara Kadet 1947 Istimewa

foto: Istimewa

Kelihaian Rahabi mengolah ide jadi karya jempolan membuatnya dipercaya menggarap sejumlah film hingga seri web, baik sebagai sutradara maupun merangkap penulis skenario. Tercatat Rahabi menggarap film 2014 bersama Hanung Bramantyo, film pendek Daun Terus Melayang (2008), film dokumenter Indonesia Menuju Broadway (2019), seri web seperti Pulang Pulang Ganteng (2016 - 2017) dan Ustadz Jaga Jarak (2020), serta masih banyak lainnya.

Bagi Rahabi, menjadi sutradara maupun penulis skenario memiliki tantangan masing-masing. Menulis skenario baginya seperti menghadap kertas kosong. Semua berawal dari nol.

"Jadi nggak ada pegangan membuat sesuatu jadi bagus. Di situ struggling-nya berat. Kita berdiskusi dengan banyak orang untuk mendapatkan cerita yang dicintai semua orang. Film mana pun akan struggling berat di sana. Kita berjibaku bersama ide, sama hal-hal yang hampir nggak nyata," demikian Rahabi menuturkan saat berbincang virtual dengan brilio.net.

Lain cerita dengan seorang sutradara yang berjibaku dengan manusia. Dia bertugas menyampaikan visi proyek film agar dipahami pemain dan kru hingga terwujud dalam sebuah karya. Untuk Rahabi, tugas ini beratnya setengah mati.

"Dealing with people nggak pernah gampang. Kita nggak bisa semudah marah-marah terus orang jadi bisa mengerjakan semua sesuai mau kita. Rasanya memang lebih mudah diem di kamar dan melukis sendiri karena kita hanya dealing with ideas and karya kita sendiri. Tapi kalau karya kita melibatkan banyak orang, apalagi sampai ratusan orang it's very very complicated," jabar Rahabi saat ditanya lebih merepotkan mana menjadi sutradara atau penulis skenario.

Rahabi pun berani menyimpulkan berdasar pengalamannya bahwa menjadi seorang sutradara lebih ribet ketimbang penulis skenario.

"How can we move people, itu selalu jadi cita-cita saya" - Rahabi.

Rahabi Mandra, dari videografer kawinan ke sutradara Kadet 1947 Istimewa

foto: Istimewa

Saat seseorang menemukan ide ingin membuat karya apa, bagaimana mengubah ide itu menjadi karya nyata, harapan atas karya tersebut tak mungkin terlewatkan. Sama seperti Rahabi yang memiliki harapan di setiap karya yang ia buat.

Pria yang sekarang identik dengan gaya rambut gondrong diikat itu mengisahkan momen tak terlupakan di masa lalu. Sewaktu menghadiri pemutaran film karya sutradara senior Garin Nugroho, Rahabi tersentuh dengan jalan cerita film tersebut. Tergerak hatinya untuk menghampiri serta menyalami penulis skenario film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak tersebut. Namun, langkah Rahabi terhenti saat melihat orang tua menghampiri dan menyalami Garin Nugroho.

"Tangannya nggak dilepas-lepas. Terus saya ngedenger percakapannya. Orang tua ini bilangnya, 'Terima kasih sudah membuat film ini'. Nah, itu tuh menyentuh saya. 'Gue kalau bikin film tuh pengennya diginiin' gitu sebenarnya karena menyentuh hati banyak orang," jelas Rahabi sambil menunjukkan senyum lebar.

Bagi pria yang memulai debut sutradaranya pada 2013 itu, ketika sebuah film bisa menyentuh hati penonton, maknanya maksud film tersebut sudah tepat sesuai awal ide dibuat.

"Arahnya sih selalu ke sana. Kalau duduk, dari kertas kosong, 'Oke, kita mau bikin apa?'. Nah, how can we affect people, how can we move people, itu selalu jadi cita-cita saya," lanjut sutradara yang juga telah menggarap beberapa seri web untuk tujuan komersial itu.

Lain cerita dengan kisah sebagai penulis skenario yang diakui Rahabi lebih dulu ia lakoni sebelum menjadi seorang sutradara. Menurut pemaparannya, selepas lulus kuliah Rahabi sama sekali tak bisa mengoperasikan kamera, mengingat jurusan yang ia ambil adalah penyutradaraan yang bertugas mengomando pemain dan kru.

"Tapi semenjak kuliah juga, saya selalu ngerevisi tulisan orang. Ya gitu deh, nyebelin deh saya waktu itu. Minta tolong orang nulis tapi gue sendiri yang benerin. Somehow abis itu kerjanya videografer kawinan lumayan lama untuk bertahan hidup sampai ada peluang di Habibie Ainun. Waktu itu, 'Mau nggak jadi astrada?', 'Mau, mau!'. Dari situ terpapar ke penulisan skenario. Waktu itu Dapur Film milik Mas Hanung butuh banyak skenario. Salah satunya Merry Riana yang sedang on going dan butuh skenarionya dibagusin. Nah, itu saya nawarin (ikut menggarap) dan dipercaya buat ngerevisi," papar Rahabi.

Lebih lanjut, Rahabi mulai berkolaborasi dengan Emil Heradi, asisten sutradara (astrada) satu film Habibie Ainun, membuat film Night Bus. Dalam film yang tayang pada 2017 ini, Emil Heradi sebagai sutradara, sementara Rahabi selaku penulis skenario bersama Teuku Rifnu Wikana.

"Dari situ, saya lebih populer sebagai penulis skenario karena waktu itu masih sedikit sekali ya, penulis skenario. Bahkan sampai sekarang jumlahnya timpang. Sutradara itu selalu jauh lebih banyak dari penulis skenario," sambung Rahabi.

Tantangan menulis skenario di mata Rahabi.

Rahabi Mandra, dari videografer kawinan ke sutradara Kadet 1947 Istimewa

foto: Istimewa

Rahabi menceritakan bahwa saat seseorang membuat skenario, yang diperlukan adalah bahasa selugas mungkin. Bahkan tak ada masalah ketika menggunakan pengulangan kata.

Tantangan akan didapati seseorang, termasuk seorang novelis yang ingin mengubah karyanya dari buku menjadi film serta penulis skenario pemula, adalah mereka tidak punya pengalaman syuting.

"Pengalaman syuting, editing, pengalaman filmnya sendiri itu krusial untuk dimiliki penulis skenario. Karena kita nggak cuman bermain dengan literatur tapi juga dengan screenplay. Mana scene yang duluan, mana scene yang belakangan. Mana yang di-flashback-in, mana di-flash forward. Dari itu semua juga mempertimbangkan visibility, kemungkinan adegan itu bisa diadegankan dengan keterbatasan yang kita punya," urai Rahabi.

Kemudian ia mencontohkan, ketika sebuah novel hendak diubah ke film, berbagai pertimbangan harus diperhatikan. Andai novel tersebut mengangkat latar belakang di luar negeri bahkan antariksa, harus dipikirkan skenarionya membutuhkan syuting seperti apa hingga biaya seberapa besar.

Rahabi menepis omongan orang pada umumnya bahwa menulis skenario menjadi prioritas, sementara bujet pembuatan film dipikirkan belakangan.

"Itu bohong. Jebakan batman. Jadi sudah harus dengan pikiran keterbatasan dana seperti apa, tapi secara kreatif itu bisa gimana, syutingnya mesti banyakan pagi atau malem, jumlah pemainnya kebanyakan apa nggak. Jadi, kayak nggak bisa kalau belum pernah syuting. Penulis skenario itu tantangannya akan sangat besar. Pasti kena revisinya banyak banget. Ketika skenario jadi, sutradara sudah punya revisi, produser bilang kemahalan, kena revisi. Terus dibaca sama director fotografi 'Lah ini kenapa pagi semua? Nggak ada scene malemnya. Kalau nggak ada scene malemnya, gimana dong?'. Jadi tantangannya seperti itu," tutur Rahabi panjang.

Rahabi melanjutkan bahwa langkah awal saat seseorang ingin menjadi penulis skenario adalah berguru pada ahlinya.

"Cari penulis skenario seperti Mas Salman Aristo atau Titien Wattimena, mereka buka sesi ini. Atau Temata, kita punya program juga. Nah, dari ilmu mereka kita bisa belajar banyak, kan? Kalau gue sih, penulis skenario gue kirim ke lapangan. 'Lu harus ngerti soalnya. Kalau nggak pusing banget nanti. Lu nggak punya tabungan di kepala untuk ngolah seperti apa' gitu," cerita Rahabi.

Pelajaran berharga dari apple box dan kursi sutradara

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Rahabi Mandra (@rahabimandra)

 

Selama berkiprah di dunia perfilman, Rahabi merasa begitu bangga ketika mengarahkan Presiden Joko Widodo beradegan dalam opening Asian Games 2018.

"Itu dahsyat. Itu memorable banget. Gue punya seribu satu cerita lah. Apalagi presiden kita itu humble banget. Ketika pertama kali dateng ke set, ketemu semua kru, kata-kata pertama dia adalah 'Baik, saya mau diapakan saja boleh'. Padahal kita tegang setengah mati, kan Paspampres ngelihatin semua," kata Rahabi setengah berseru lantaran bersemangat menceritakan ulang pengalamannya.

"Saya nanya 'Boleh nggak take-nya dua kali?', 'Nggak boleh lah, masa' naik-turun tangga sampai dua kali tiga kali?', tapi beliau (Presiden Joko Widodo) bilang nggak papa," imbuhnya.

Selain itu, penghargaan di Festival Film Indonesia pada 2017 juga menjadi momen membanggakan bagi Rahabi. Sebab, pada awalnya film Night Bus hanya ingin agar pesannya didengar orang-orang penting untuk mengurangi konflik bersenjata. Namun ia tak menyangka, karyanya diapresiasi sedemikian besarnya.

Kisah Rahabi sebagai sutradara tak selalu manis. Ada momen yang membuatnya tak nyaman namun menjadi pelajaran berarti. Kisah pertama ketika ia menjadi pihak yang tak tegas mengambil keputusan.

"Nggak bisa menentukan (keputusan) itu nyakitin orang lain. Apalagi kerja sama dengan banyak orang," cetus Rahabi.

Rahabi pernah dalam posisi cukup tinggi menyutradarai sebuah karya tapi sulit menentukan keputusan kreatif sehingga berimbas pada kemaslahatan orang banyak.

"Bisa jadi keputusan kreatif kita ini bikin orang begadang dua hari, itu mungkin. Satu keputusan yang bikin orang kehilangan uang dalam jumlah banyak itu mungkin juga. Bikin orang jadi ngutang. Gitu tuh banyak kejadian. Apalagi kalau kita tidak bisa mengambil keputusan, indecisive, bisa panjang urusannya," lanjut Rahabi.

'Tamparan' selanjutnya ialah saat Rahabi menyutradarai sebuah FTV bersama kawannya, Wicaksono Wisnu Legowo, sutradara Turah. Kala mengerjakan proyek non film pertamanya itu, niat hati Rahabi fokus pada kemaslahatan orang. Ia ingin memberi semangat dengan menjalani syuting secepat mungkin, sehingga timnya mendapat banyak waktu istirahat.

"Which is really wrong. Cita-cita sutradara ya bikin bagus filmnya, bukan bikin nyaman krunya. Sebenarnya gitu, kan? Tapi waktu itu, gue setiap ketemu orang bilang, 'Kita syuting cepet, ya? Tenang, ya, nanti kita istirahat banyak, ya. Ayo, guys, kita cepetin!', pikiran gue itu mulu. Terus ditegur sama temen gue itu," kata Rahabi.

Sang kawan menginginkan Rahabi stop menggaungkan pernyataannya untuk kerja cepat, istirahat lebih banyak. Bagi Wicaksono Wisnu, Rahabi bukannya memberi semangat pada kru, malah seperti orang bawel. Mengingat semua kru adalah orang-orang yang terbiasa syuting berhari-hari dan sering begadang, sikap Rahabi dinilai tak membantu apa pun dalam penggarapan film.

"'Kalau lo mau syuting cepet, ini shot list lo coba dikurang-kurangin shot-nya. Tapi kalau lo ngurangin shot-nya, jadi jelek film lo. Jadi lo fokus aja mikirin ceritanya. Gimana caranya kalau lo mau pulang cepet, shot-nya dikurangin tapi hasilnya tetep bagus. Lo sekarang ngomong nih ke Director of Photography-nya, DoP-nya sudah bertahun-tahun kerja, terus lo mondar-mandir ngomong kayak gitu, lo ngarepin dia lari di lokasi syuting? Lari-larian biar cepet gitu atau gimana?'," cerita Rahabi menirukan kata-kata Wicaksono Wisnu.

Sutradara yang karyanya masuk Official Selection Osaka Film Festival 2015 lewat film 2014 itu pun menimpali, "'Iy-iya, ya, maaf, maaf'. Akhirnya gue minta maaf gitu. Jadi gue belajar banyak."

Film 2014 juga memberikan pelajaran berharga bagi pria yang akrab disapa Abi itu. Ia bekerja sama dengan begitu banyak kru, menggaet aktor ternama, sehingga membuat Rahabi merasa 'besar'.

"Pertama kali mendapat kursi sutradara nyaman banget, monitor gede, nggak perlu lari-larian, karena biasanya astrada lari-larian, ada yang merasa gue terlalu 'besar'. Nyuruh-nyuruh gitu. Marah-marah gitu. Sampai teman gue ngomong, 'Kayaknya kursi sutradara terlalu besar buat lo'," tutur Rahabi yang seketika mawas diri saat itu. Apa yang salah dengan kinerjanya?

Waktu itu ia tak langsung memahami maksud perkataan sang teman. Ia hanya menangkap secara harfiah maksud kursi sutradara terlalu besar untuknya. Hingga akhirnya saat Rahabi hendak duduk di kursi sutradara, ia justru memandangi kursi itu khidmat. Kemudian ia mengganti kursi sutradara dengan apple box, yang sering digunakan agar tinggi aktor dan aktris atau objek film tepat sesuai kebutuhan pengambilan gambar. Aksinya ini merupakan tanggapan secara harfiah kritikan sang teman.

"Oke, gue nggak pakai kursi sutradara, gue pakai apple box. Jadi selama syuting selalu dikasih apple box sampai pinggangnya sakit setengah mati," kenang sutradara yang baru merampungkan syuting film komedi Detektif Jaga Jarak itu.

Langkah Rahabi duduk di apple box ternyata justru membawa banyak masukan untuknya. Pasalnya, semua kru mulai dari makeup artist hingga gaffer (orang yang bertanggung jawab perihal teknis pencahayaan dalam film) duduk di apple box pula.

Pengalaman demi pengalaman telah Rahabi cecap. Menurutnya, secara keseluruhan dalam mengerjakan proyek film, seorang sutradara harus punya kemampuan mengelola dua hal.

"Yang penting bukan ego. Kita kalahin ego. Udah deh, jadi sutradara tuh egonya pada tinggi-tinggi. Ketemu sama masukan orang 'Nggak, dong! Gini, dong!' terus lupa sama cerita. Cerita butuhnya apa, lupa. Jadinya egonya gede. Kalahkan egonya. Serve the story, serve the crew. I think itu sih pelajaran yang gue tangkep," tandas Rahabi memungkasi perbincangan dengan brilio.net.