Brilio.net - Letusan kolosal Gunung Tambora di Semenanjung Sanggar, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 10 April 1815 silam disebut-sebut sebagai salah satu erupsi gunung api terbesar di dunia dalam sejarah manusia modern. Konon, letusan Tambora yang mencapai skala tujuh VEI itu menjadi letusan vulkanis tebesar sejak letusan Taupo pada tahun 181. Bahkan suara letusan tercatat terdengar hingga pulau Sumatra lebih dari 2.000 km ke barat.

Hujan abu vulkanis terjadi di Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Maluku. Letusan tersebut dikabarkan menelan korban jiwa sedikitnya 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya merupakan korban langsung dari letusan. Letusan Tambora juga menyebabkan perubahan iklim dunia ketika itu. Setahun setelah letusan sebagian wilayah bumi mengalami perubahan drastis tanpa musim panas.

Film Dokumenter Tambora © 2022 brilio.net

Lebih dari tiga dekade pasca letusan dahsyat itu, Henrich Zollinger, seorang naturalis yang sekaligus ilmuwan, menjadi orang pertama yang mendaki Gunung Tambora pada Agustus 1847, atau 32 tahun setelah erupsi. Ia pun membuat catatan jurnal penelitian terhadap letusan Tambora yang melegenda itu. 

Nah untuk menjejaki kisah pendakian Zollinger yang juga pakar botani asal Swiss itu, Baraka Bumi dan Balai Taman Nasional Tambora berkolaborasi membuat film dokumenter berjudul Majestic Tambora. Film ini menggandeng pendaki gunung dan travel writer, Harley Sastha.

Dalam menggarap dokumenter Majestic Tambora ini, Harley yang juga sebagai konseptor sekaligus produser film berdurasi kurang lebih 30 menit ini menjelaskan, Gunung Tambora mempunyai tempat khusus dalam dirinya. Tidak heran kalau ia berkali-kali mendakinya melalui jalur yang berbeda.

Napak tilas Heinrich Zollinger

Film Dokumenter Tambora © 2022 brilio.net

Majestic Tambora menceritakan napak tilas perjalanan Heinrich Zollinger yang dilakukan pada Agustus 1847. Karena itu dalam film dokumenter ini, Harley memulai pendakiannya dengan menelusuri rute yang pernah dilalui Henrich Zollinger di jalur Piong, kemudian mendatangi Doroncanga, Pancasila, dan Kawinda To’i. Tujuannya untuk mencari jawaban dari pertanyaan, benarkah letusan Tambora begitu dahsyatnya?

Proses pengambilan gambar dilakukan di tiga lokasi yakni Gunung Tambora, Jakarta, dan Bandung. Harley menjelaskan, perlu waktu hampir dua tahun untuk meneliti sekaligus membuat film dokumenter ini. Karena itu tidak berlebihan rasanya, jika Gunung Tambora dikatakan sebagai salah satu "laboratorium gunung api dunia", yang menyimpan banyak misteri untuk dapat dipecahkan secara sains.

“Salah satu pesan yang tersirat dalam film ini adalah menyadarkan kembali bahwa taman nasional yang ada di Indonesia seperti Gunung Tambora, punya segudang cerita sejarah dunia yang sangat penting. Letusan Tambora juga bisa dikatakan sebagai salah satu aset bangsa yang potensial dan berdampak luas, mengingat sejarah panjang Tambora yang unik serta kekayaan potensi yang dimilikinya,“ ujar Harley.

Budaya, edukasi, dan panorama Indonesia

Film Dokumenter Tambora © 2022 brilio.net

Penggarapan film yang juga sarat budaya, edukasi, dan keindahan potensi alam Indonesia ini pun mendapat dukungan produsen lokal peralatan pecinta alam dan traveler, Arei Outdoor Gear. Ditemui di salah satu gerainya di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu siang (9/2/2022), CEO dan Co CEO Arei Outdoor Gear yakni Billy Andreas Budijanto dan George Johanes Budijanto mengatakan, pihaknya akan terus mendukung pelestarian alam di Indonesia baik dalam bentuk sponsor maupun dukungan prasarana bagi para pendaki layaknya membuat shelter emergency diberbagai pegunungan ataupun lokasi wisata alam di Indonesia.

“Arei harus menjadi perahu bagi para pecinta alam untuk menjaga dan merawat kelestarian alam kita. Untuk itu kami wajib mendukung setiap program edukasi dan juga budaya Indonesia yang terkait dengan potensi wisata alam dan pegunungan di Tanah Air kita yang sangat indah,” kata Billy.

Film Dokumenter Tambora © 2022 brilio.net

Sedangkan George menjelaskan dukungan yang diberikan tidak hanya berhenti pada pembuatan film dokumenter ini saja. Pihaknya akan terus membuat materi lain yang dapat mendukung setiap kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian alam Indonesia.

“Kami akan melanjutkan perjuangan untuk membuat Shelter Emergency di salah satu wilayah pegunungan Indonesia yang sebentar lagi akan kami rilis” ucap George. 

Film dokumenter ini telah diputar dan disaksikan sejumlah tokoh pecinta alam pada akhir Januari lalu di Perpustakaan Nasional Jakarta.  Ke depan, Arei akan menggelar pemutaran dokumenter tersebut di seluruh toko Arei dan juga pada berbagai komunitas pecinta alam lain di seluruh Indonesia.