Brilio.net - Modus tindakan pidana perdagangan orang (TPPO) mulai terkuak. Sebanyak 29 perempuan Indonesia menjadi korban pengantin pesanan di China. Dilansir dari liputan6, Senin (24/6), 13 Perempuan tersebut berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sementara 16 perempuan lainnya berasal dari Jawa Barat.

Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma'arif menyebutkan bahwa temuan tersebut merujuk dari tiga tahapan pelanggaran TPPO, yakni proses, cara, dan tujuan eksploitasi sebagaimana Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

Bobi mengatakan pada saat proses perekrutan dan pemindahan terdapat keterlibatan para perekrut lapangan untuk mencari dan memperkenalkan perempuan kepada pria asal China untuk dinikahi dan kemudian dibawa ke negaranya.

"Cara penipuan digunakan dengan memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk para korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keluarga para korban juga diberi sejumlah uang," kata Bobi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dikutip brilio.net dari liputan6, Senin (24/6).

Bobi menuturkan, seorang pria asal China harus menyediakan uang sebesar Rp 400 juta jika ingin memesan pengantin perempuan. Dari uang itu, sebanyak Rp 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan dan sisanya diberikan kepada para perekrut lapangan.

"Dengan memanfaatkan posisi rentan korban yang seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, tulang punggung keluarga, beberapa di antaranya merupakan janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya, menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan," tuturnya.

Tak berhenti sampai di situ saja, ditemukan pula dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak di bawah umur. Menurut Bobi, tujuan dalam kasus perkawinan pesanan ini adalah untuk dieksploitasi.

Dari data pelaporan korban yang dihimpun SBMI memperlihatkan, saat tinggal di negara asal suami atau pemesan, mereka diharuskan bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.

Tampak tak manusiawi, di mana mereka masih harus bekerja ketika tiba di rumah. Di mana mereka diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah dan dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami. Para korban dilarang berhubungan dengan keluarga di Indonesia.

Mereka mendapat ancaman, jika ingin kembali ke negara aslinya harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami. Eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisasi dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini.

"Mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami dan dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit," ucap Bobi.

Saat ini baru tiga orang sudah dipulangkan ke Indonesia. Sementara, ada 26 korban lain yang masih berada di China.

"Jadi dari 29 itu 3 sudah dipulangkan. 26 Orang lainnya masih bersama suaminya di Tiongkok," ujar Bobi.

Kasus ini telah melanggar beberapa instrumen perlindungan. Yaitu tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU No 7 Tahun 1984.

"Berdasarkan kronologi kasus di atas, jelas bahwa perkawinan pesanan tidak memenuhi unsur-unsur perkawinan sebagaimana diatur dalam CEDAW," kata Bobi.

Kemudian, UU No 21 Tahun 2007 tentang TPPO Pasal 2 dan Pasal 4 diatur mengenai sanksi hukuman penjara bagi para pelaku, yakni paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.

"Hingga sekarang pelaku kasus perkawinan pesanan belum mendapatkan sanksi seperti yang tertuang dalam UU TPPO yakni minimal 3 tahun," ucapnya.

Dalam kasus ini terdapat 2 korban yang masih berusia anak-anak, hal ini jelas melanggar Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Dan memproses dan menyelesaikan kasus dengan menerapkan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Perlindungan Anak," sambung Bobi.

LBH Jakarta, SBMI, dan Komnas Perempuan mendesak Bareskrim Polri segera membongkar sindikat perekrutan yang terorganisirasi dalam kasus TPPO pengantin pesanan antarnegara ini.

Pihaknya pun mendesak pemerintah dalam hal ini Pemprov Jawa Barat dan Kalimantan Barat serta Pemkab Sanggau untuk melakukan berbagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang.