Tunawisma atau homelessness adalah masalah global di Indonesia yang terus dihadapi hingga kini. Ada sekitar tiga juta tunawisma di Indonesia. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mencatat sebanyak 4.622 orang berstatus Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan gelandangan (orang yang tidak memiliki tempat tinggal) yang menempati posisi teratas dengan jumlah 1.044 orang.

Di masa pandemi ini, jumlah tunawisma semakin meningkat dengan adanya berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan tersebut berdampak pada aspek sosial ekonomi yang sangat besar di masyarakat. Adanya pembatasan aktivitas skala besar mengakibatkan berhentinya sebagian besar aktivitas ekonomi yang menjadi salah satu penyebab bertambahnya pengangguran dan tunawisma.

Permasalahan tunawisma ini merupakan turunan dari permasalahan kemiskinan. Umumnya, para tunawisma adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba mengadu nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi, dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka hanya bekerja serabutan dan tidak tetap. Kurangnya motivasi juga membuat para tunawisma 'pasrah' dengan keadaan hidupnya, padahal dalam menjalankan hidup, seseorang memerlukan banyak motivasi agar dapat menjalankan segala sesuatu yang dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Salah satu penyebab mengapa tunawisma dipermasalahkan yaitu karena kebanyakan para tunawisma tersebut tinggal di pemukiman kumuh dan liar, menempati zona-zona publik yang sebenarnya melanggar hukum, dengan cara mengontrak petak-petak di daerah kumuh di pusat kota atau mendiami stren-stren kali sebagai pemukiman liar. Pemerintah sendiri masih belum dapat menangani masalah tersebut sampai tuntas. Beberapa upaya telah dilakukan untuk menanggulangi masalah tunawisma, seperti melakukan razia terhadap gelandangan dan pengemis untuk dipulangkan ke tempat asalnya, memberikan pelatihan sesuai minat dan bakat, pemberdayaan ekonomi, menyediakan tempat tinggal dan rehabilitasi sosial. Pelayanan tersebut dirancang agar tunawisma mampu menjalani kehidupan dengan stabil dan tidak kembali ke jalanan. Sayangnya, fasilitas pelayanan sosial ini masih terpusat di Pulau Jawa dan belum merata di seluruh Indonesia.

Rumah susun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang berpenghasilan rendah agar dapat tinggal di tempat yang layak. Dalam UU No.16/1985 Tentang Rumah Susun, Bab 1 pasal 1 tertulis bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal yang terbagi dalam satu-satuan masing-masing jelas batasannya, ukuran dan luasnya, dan satuan/unit yang masing-masing dimanfaatkan secara terpisah terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Kurangnya rumah untuk menetap menyebabkan cukup banyak masalah kesehatan pada tunawisma, salah satunya adalah masalah kesehatan mental. Masalah kesehatan mental merupakan masalah yang sangat perlu untuk diperhatikan oleh masyarakat Indonesia, termasuk para profesional. Sayangnya, pelayanan kesehatan mental untuk para tunawisma dan bahkan masyarakat Indonesia sendiri pun masih kurang diperhatikan oleh masyarakat lain dan bahkan pemerintah. Berbagai faktor seperti sikap apatis dan meremehkan, kurangnya edukasi kesehatan mental, budaya turun-temurun, lingkungan yang masih memegang adat lama, kepercayaan yang terlalu berlebihan, stigma-stigma buruk terhadap orang-orang yang memiliki permasalahan mental dan sebagainya masih mengakar cukup kuat di kehidupan masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, orang-orang yang memiliki gangguan jiwa pun malah diperlakukan tak layak dan terdiskriminasi.

Dilansir dari artikel berjudul Distres Psikologik dan Disfungsi Sosial di Kalangan Masyarakat Miskin Kota Malang tahun 2014, Liputo mengatakan bahwa masyarakat berstatus sosial ekonomi rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan mental dan mereka juga semakin berisiko untuk mengalami disfungsi sosial. Maka dari itu, melihat keadaan tunawisma yang berada di Indonesia ini agar mereka mampu berkembang dan melakukan perubahan sangat dibutuhkan perhatian khusus pada kondisi mental mereka. Pemerintah dapat menerapkan kebijakan dan juga pelayanan kesehatan mental bagi tunawisma selain memenuhi kebutuhan primer, pendidikan, dan keterampilan sehingga mereka pun dapat termotivasi untuk keluar dari kondisi kemiskinan.

Motivasi dan mindset pun turut berperan penting bagi kelangsungan hidup para tunawisma. Dalam artikelberjudul Motivasi dari sudut pandang teori hirarki kebutuhan Maslow, teori dua faktor Herzberg, teori xy Mc Gregor, dan teori motivasi prestasi McClellandtahun 2015, Andjarwati mengutip pendapat Yorks bahwa motivasi dapat didefinisikan sebagai satu kekuatan dalam diri seseorang yang mendorong atau menggerakkannya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dasarnya. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Abraham Maslow: "Hanya kebutuhan yang tidak terpenuhi yang akan menjadi sumber motivasi; kebutuhan yang terpenuhi tidak menciptakan ketegangan dan oleh karena itu tidak ada motivasi". Oleh karena itu sangat penting bagi para tunawisma untuk memiliki motivasi tinggi agar dapat keluar dari kemiskinan, begitu pula dengan mindset seseorang akan memengaruhi ia dalam menyikapi bakat, kecerdasan, serta karakternya. Hal tersebut menggambarkan bagaimana pentingnya pelayanan kesehatan mental yang salah satunya dapat meningkatkan motivasi dan mindset dalam menentukan kemajuan dan perkembangan potensi para tunawisma di Indonesia.

Oleh: Atasya R., Elsa M., Hasfi M., Fachra A., Rofifah A., Silvia J., Tasya A.