Menurut The International Classification of Impairment Disability and Handicap (WHO, 1980), kecacatan dapat dibagi menjadi tiga definisi, yaitu impairment (disfungsi dalam struktur dan psikologis), disability (hilangnya kemampuan untuk melakukan kegiatan secara normal sebagai seorang individu/manusia), dan handicap (terbatasnya kemampuan untuk melaksanakan sesuatu ataupun menjalankan peran secara normal). Saat ini, masyarakat dan terutama para gerakan penyandang lebih memilih menggunakan istilah impairment dan disabilitas, ini dikarenakan kedua konsep tersebut dapat didefinisikan sebagai "absennya sebuah fungsi" dan "cacat dikarenakan sifat secara sosial". Selain itu, kata "cacat" pun cenderung berkonotasi negatif dan cenderung membuat stigma bahwa kelompok tersebut patut dikasihani dan tidak dapat berkembang, ini tentunya tidak sesuai misi Kovensi Internasional yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia (A. Soleh, 2019). Karena itu, saat ini istilah kelompok disabilitas atau kelompok difabel lebih sering digunakan guna mewujudkan dunia yang lebih ramah terhadap para kelompok difabel yang masih sering kali mendapatkan tantangan dan diskriminasi, terutama dalam dunia kerja, baik dalam mencari lapangan pekerjaan yang masih terbatas hingga tantangan yang dihadapi dalam menjalankan pekerjaan itu sendiri.

UU No. 13 Tahun 2003 mengenai isu Ketenagakerjaan Pasal 31 secara jelas menyebutkan. "Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri"(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, 2003). Berdasarkan undang-undang tersebut, setiap orang memiliki hak yang setara dalam bekerja ataupun mencari pekerjaan, termasuk untuk kelompok disabilitas.

Selain itu, PBB telah menegaskan hal serupa melalui termuatnya prinsip-prinsip yang menitikberatkan pada hak kelompok disabilitas dalam Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities, yaitu sebagai berikut.

a. Penghormatan terhadap harkat dan martabat kelompok disabilitas.

b. Implementasi prinsip non-diskriminasi.

c. Implementasi prinsip partisipasif.

d. Aksesibilitas yang mudah bagi semua orang.

e. Rasa hormat dalam menerima perbedaan.

Terlepas dari banyaknya peraturan yang telah menegaskan hak kelompok disabilitas sebagai manusia, masih terdapat banyak hambatan yang dilalui, terutama dalam dunia pekerjaan, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Akses terhadap lapangan pekerjaan.

Peraturan mengenai kuota pekerjaan bagi kelompok disabilitas sesungguhnya telah dicantumkan pada Pasal 28 yang berbunyi: "Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja perusahaannya" (Pasal 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejateraan Sosial Penyandang Cacat, 1998).

Namun, hingga saat ini masih banyak kelompok disabilitas yang mengalami kesulitan dalam mengakses lapangan pekerjaan, terutama dikarenakan stigma negatif yang melekat pada mereka dan menganggap bahwa mereka tidak dapat bekerja seperti kelompok non-disabilitas. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakemas) pada Agustus 2020 mencatat bahwa terdapat 7.677.812 pekerja dengan disabilitas di Indonesia (Buku Kementerian Dalam Data, 2021). Hal ini tentunya belum sebanding dengan data Biro Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa angka total kelompok disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta jiwa (Kementerian Sosial, 2020).

2. Aksesibilitas tempat bekerja yang tidak ramah difabel.

Dalam bekerja, kelompok disabilitas akan membutuhkan aksesibilitas yang dapat memudahkan mereka dalam mengakses area tempat bekerja, baik dari segi transportasi hingga dari sisi lingkungan yang disediakan oleh tempat bekerja. Hal ini telah ditegaskan dalam UU No. 8 Tahun 2016 yang menjamin kesetaraan hak dan kesempatan bagi penyandang difabel untuk memenuhi kesejahteraan tanpa diskriminasi, hal ini meliputi pemenuhan hak dalam akses publik yang juga harus diberlakukan di kawasan Perkantoran. Selain itu, peraturan ini juga disebutkan di Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 30/PRT/M/2006 mengenai Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan yang menegaskan bahwa semua gedung termasuk perkantoran diharuskan menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap bagi semua orang, termasuk kelompok disabilitas (Kementerian PUPR, 2006). Beberapa contoh dari implementasi hal ini adalah adanya toilet ramah difabel, lift khusus yang ramah difabel, serta guiding block.

3. Diskriminasi dalam dunia kerja.

Diskriminasi adalah hal yang kerap terjadi pada kelompok disabilitas dikarenakan banyaknya pandangan yang memandang kelompok disabilitas sebagai kelompok yang vulnerable ataupun lemah. Hal ini tentunya dapat memunculkan rasa tidak nyaman, tekanan hingga gangguan dalam bekerja yang dapat memengaruhi performa hingga menimbulkan gangguan pada mental seperti stres atau bahkan depresi. Selain itu, diskriminasi juga berpotensi untuk berkembang menjadi bullying dan kekerasan yang sangat berdampak buruk bagi korban.

Guna mengatasi beberapa tantangan yang dialami kelompok disabilitas dalam bekerja, terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut:

- Melakukan perumusan strategi pengelolaan kelompok disabilitas dalam dunia kerja yang dibuat secara adil dan mematuhi peraturan yang berlaku, serta melibatkan para wakil pekerja dan pekerja dengan disabilitas.

- Mengadakan sesi edukasi terhadap seluruh karyawan mengenai keberadaan rekan kerja dengan disabilitas untuk memunculkan pemahaman yang setara dan ramah difabel.

- Melakukan evaluasi secara berkala akan performa perusahaan dalam pengelolaan dan penyediaan ruang bagi kelompok disabilitas.

- Membangun sistem non-diskriminatif yang dimulai dari proses perekrutan. Dalam hal ini, Human Resource (HR) berperan besar dalam merekrut kelompok disabilitas melalui implementasi sistem perekrutan dengan prinsip non-diskriminasi.

- Memberikan kesempatan pengembangan karier yang setara bagi semua orang berdasarkan performa dan kualitas individu.

- Memberikan pelatihan khusus atau workshop guna meningkatkan keterampilan dan pengetahuan para pekerja, terutama kelompok disabilitas.

- Mengevaluasi sistem gaji dalam perusahaan untuk memastikan bahwa semua pekerja mendapatkan gaji yang pantas dan setara.

- Membangun sarana dan prasarana yang ramah difabel.

Dalam mewujudkan lingkungan kerja ramah difabel, proses yang perlu dilalui memang tidak mudah, tetapi hal ini bisa diwujudkan melalui komitmen kuat yang dimiliki perusahaan beserta para pekerja guna menyediakan ruang yang aman bagi semua orang, termasuk kelompok disabilitas. Implementasi dunia kerja yang ramah disabilitas pada intinya bukan tentang privilege ataupun keistimewaan kelompok disabilitas, melainkan mengenai implementasi keadilan dan kesetaraan bagi semua orang tanpa terkecuali, terlepas dari perbedaan dan latar belakang apa pun.