Berawal dari kepedulian Farha Ciciek dan suaminya, Supoharjo terhadap anak-anak di kampungnya, Desa Ledokombo, Jember, Jawa Timur yang ditinggalkan orang tua mereka bekerja menjadi TKI, keduanya mendirikan Tanoker pada tahun 2009. Selain permasalahan tersebut, berdirinya Tanoker juga dilatarbelakangi berbagai persoalan, seperti anak putus sekolah, pengangguran, kekerasan terhadap anak, dan penyalahgunaan narkoba.

Tanoker, tempat masyarakat bermetamorfosis jadi sosok yang lebih baik

Tanoker berasal dari Bahasa Madura yang berarti kepompong. Penamaannya terinspirasi dari lagu Kepompong yang dipopulerkan grup musik Sindentosca tahun 2008. Seperti halnya kepompong, filosofi Komunitas Tanoker adalah tempat bermertamorfosis menjadi sosok yang lebih baik. Melalui Tanoker, keduanya mengajarkan anak-anak di desanya membaca, menulis, memasak, menari, melukis, olahraga, musik, dan teknologi internet.

Belajar dan sekolah umumnya identik dengan ruang kelas, bangku, papan tulis, dan guru yang mendiktekan pelajaran. Tanoker menjadikan kehidupan sosial dan alam raya menjadi sekolah dan tempat belajar. Selanjutnya, anak didik di Kampung Tanoker pun tidak hanya terbatas pada anak-anak TKI saja, melainkan juga anak para buruh migran, buruh tani, tukang ojek, sopir, pedagang kecil, guru, dan pekerja rumah tangga.

Tanoker, tempat masyarakat bermetamorfosis jadi sosok yang lebih baik

Aktivitas mendidik yang dijalankan oleh Komunitas Tanoker, selanjutnya tidak hanya khusus bagi anak-anak. Tanoker mengembangkan proyek pendampingan bagi para orang tua dengan memunculkan sekolah bapak-bapak dan sekolah ibu-ibu, atau yang lebih keren dinamai dengan Mother School dan Father School.

Dalam Mother School maupun Father School, diajarkan berbagai persoalan tentang parenting dan bagaimana seharusnya mendidik dan memahami persoalan anak yang semakin kompleks di era milenial. Banyaknya anak di Desa Ledokombo yang hidup dan diasuh oleh nenek atau kakeknya (eyang), karena orang tua mereka bekerja sebagai TKI atau TKW, mendorong Kelompok Tanoker membuat Grandmother School atau Sekolah Yang Eyang. Sekolah tersebut merupakan kerjasama antara Komunitas Tanoker dengan Karang Werda Bungur Desa Sumber Lesung Kecamatan Ledokombo. Selain bertujuan membekali pengetahuan tentang parenting, sekolah ini juga mengajak para eyang untuk membiasakan pola hidup sehat, sehingga terwujud lansia yang berkualitas, sehat, dan bugar.

Tanoker, tempat masyarakat bermetamorfosis jadi sosok yang lebih baik

Sejak tahun 2010, Komunitas Tanoker telah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Jember melaksanakan Festival Egrang, dengan tujuan merevitalisasi permainan tradisional Egrang. Di tangan Komunitas Tanoker, permainan egrang dipadukan dengan musik perkusi dan gerak tari, menjadi kreasi seni yang khas bernama Tarian Egrang. Selain dikreasikan menjadi jenis tarian, permainan Egrang juga dikonsep menjadi event gerak jalan Egrang dan diadakan tiap tahunnya. Pada Bulan September 2018 lalu, telah dilangsungkan perhelatan Festival Egrang yang ke-IX di Ledokombo.

Berikutnya, Komunitas Tanoker menggagas event Pasar Lumpur yang diadakan pada hari Minggu terakhir setiap bulannya. Pasar Lumpur terletak di kaki Gunung Raung, Desa Sumber Lesung, Kecamatan Ledokombo. Gagasan Pasar Lumpur mulai terwujud sejak 2017 yang diresmikan oleh ketua DPRD Jember, Thoif Zamroni. Wisata Pasar Lumpur menawarkan cita rasa kearifan lokal, khazanah kultur agraris, serta kreativitas masyarakat setempat yang tersaji dalam aneka makanan, minuman, serta permainan tradisional.

Aneka kudapan tradisional yang disajikan misalnya Sumpil Labuh, Rangin, dan Embhel. Sumpil Labuh atau biasa disebut kue nogosari dengan resep Labuh Kuning. Rangin merupakan semacam krispi dengan rasa gurih yang khas nan alami. Sedangkan Embhel adalah kue sederhana masyarakat Jember yang berbahan tepung beras dan gula merah. Adapun permainan tradisional yang disajikan antara lain becak tangan dalam lumpur, balap tempeh di lumpur, dan bermain polo lumpur. Uniknya semua permainan dilakukan di bekas lahan sawah penuh lumpur dan tanpa dipungut biaya.

Tanoker, tempat masyarakat bermetamorfosis jadi sosok yang lebih baik

Dengan adanya Tanoker dengan berbagai kegiatannya, kini Desa Ledokombo telah menjadi salah satu destinasi kampung wisata belajar di Kabupaten Jember yang mulai diminati banyak wisatawan, baik lokal maupun asing. Pada bulan November 2017 yang lalu Tanoker mendapat penghargaaan dari Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Timur sebagai salah satu tujuan destinasi wisata budaya ke-2 se-Jawa Timur setelah tempat ziarah Gus Dur. Karena dedikasinya tersebut, tidak mengherankan jika Farha Ciciek memperoleh banyak penghargaan. Beberapa diantaranya adalah terpilih sebagai satu dari 1.000 PeaceWomen 2005, Inovator For The Public Penganugrahan Global Ashoka dari Yayasan Asoka, She Can Award (Tupperware Award), dan dinominasikan untuk hadiah Nobel Perdamaian.