Di kalangan anak muda, berbagai macam selera humor selalu dibagikan. Ada yang membagikannya melalu media sosial ataupun saat tatap muka untuk bersenda gurau. Namun, candaan yang terkadang dibuat sesekali melewati batas. Masih banyak anak muda yang gemar memakai kata 'autis' untuk mengejek temannya yang tidak tahu malu dan tidak peduli dengan sekitar sehingga menimbulkan gelak tawa dan bahan ejekan.

Kebanyakan orang masih menganggap anak autis sebagai anak yang tidak peduli sekitar. Sebutan 'autis' mewakili pendapat mereka yang menilai bahwa seseorang yang dilihatnya itu kurang waras. Tapi, pernahkah kalian bayangkan jika saat mengucapkan kata tersebut untuk bahan lelucon, lalu seorang penyandang autisme mendengar hal tersebut? Pasti akan ada dampak yang mereka rasakan, terutama secara psikologis.

Stop jadikan kata 'Autis' sebagai bahan lelucon!

Berbagai upaya masyarakat yang peduli akan autisme sudah coba dilakukan, salah satunya kampanye "Autism is not a joke" yang telah dilakukan banyak akun media sosial dalam negeri maupun luar negeri. Kampanye tersebut merupakan sebuah ajakan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan istilah autis sebagai bahan bercanda.

Mereka tetap sama dengan kita, Sang Pencipta memberikan keistimewaan bagi mereka untuk lebih butuh dibimbing karena adanya gangguan pada perkembangan saraf mereka.

Sejak sekitar tahun 1977 masalah autisme mulai dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan dari beredarnya informasi mengenai autisme, dibukanya pusat-pusat terapi serta terbentuknya yayasan yang peduli dan menangani anak-anak autisme. Bahkan ada beberapa seminar nasional yang membicarakan masalah ini dengan pakar-pakar ahli dari dalam maupun luar negeri.

American Psychiatric Associationdisingkat APA (2013) menyebut pengertian autis / autisme pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) sebagaiAutism Spectrum Disorder(ASD), yaitu suatu gangguan perkembangan saraf (neurodevelopmental disorder) yang ditandai dengan hambatan komunikasi sosial dan interaksi sosial pada berbagai situasi (termasuk hambatan dalam timbal balik sosial, perilaku komunikatif non-verbal yang digunakan untuk interaksi sosial, dan keterampilan dalam mengembangkan, mempertahankan dan memahami hubungan) dan juga adanya pola perilaku, ketertarikan yang terbatas maupun aktivitas yang berulang. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa autisme bukan penyakit yang menular untuk sekitar dan bukan sebuah penyakit yang harus ditakuti.

Sering kali kita lupa untuk bersikap terlebih dahulu kepada orang lain, sebelum kita ingin dianggap, dihargai, maupun dicintai. Hindari yang namanya bullying, terutama kepada orang yang berkebutuhan khusus. Karena jika kita melakukan hal tak terpuji kepada mereka, sama saja dengan menunjukan kerendahan diri kita. Maka dari itu, mulai sekarang cobalah mengerti terlebih dahulu kondisi orang lain, sebelum dirimu ingin dimengerti apa yang dirimu rasa. Jangan di-bully, jangan dihujat, jangan dijadikan bahan untuk mengolok-olok teman.

Autisme bukan sebuah lelucon, melainkan keistimewaan yang patut disyukuri.