Kota Jakarta yang akan berulang tahun ke-492 pada bulan Juni 2019 ini tentunya menyimpan banyak cerita dalam perjalanan panjangnya sebagai sebuah kota besar. Dalam Buku Tempat-tempat bersejarah di Jakarta karya Adolf Heuken, SJ (Yayasan Cipta Loka Caraka: 1997) dibeberkan sebagai kota Pelabuhan, Jakarta sudah bercorak internasional sejak masih disebut Sunda Kelapa. Sejak berabad-abad yang lalu orang dengan latar belakang kebudayaan, warna kulit dan keyakinan agama yang berbeda-beda telah bertemu di bandar ini. Interaksi seperti itu masih tetap berlangsung hingga kini.

Interaksi tersebut terjadi baik melalui transaksi perdagangan maupun kebudayaan lintas bangsa yang juga memberikan pengaruh dan corak tersendiri terhadap kebudayaan lokal masyarakat sekitar. Tentu saja banyak peninggalan bersejarah di Jakarta sebagai bukti dan jejak dari adanya interaksi lintas budaya dan bangsa tersebut.

Salah satu peninggalan bersejarah di kota Jakarta adalah Rumah Peribadatan warga dari etnis Tionghoa, yaitu Kelenteng. Beberapa Kelenteng di Jakarta ini sudah berusia ratusan tahun dan menjadi situs bersejarah kota Jakarta. Dalam buku Tempat-Tempat bersejarah di Jakartakarya Adolf Heuken, SJ pada bab Klenteng dan kuburan Tionghoa diceritakan bahwa lama sebelum kapal-kapal Portugis berlayar di perairan Asia Tenggara, jung-jung Tionghoa seringkali mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa dan banyak orang Tionghoa telah berdiam di pantai utara Jawa. Pada abad ke-16 secara berkala Banten disinggahi oleh pedagang-pedagang Tionghoa yang menjadi saingan kuat pedagang-pedagang Portugis, Belanda dan Inggris di sana. Kontak niaga antara Tiongkok dan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat pasti sudah berlangsung sejak abad ke-5 (1997: 173).

Pedagang dan pelaut dari Tionghoa tersebut tentu pernah singgah dan berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak hanya singgah, beberapa di antara mereka ada yang akhirnya menetap di seputaran Batavia yang merupakan salah satu nama masa lalu Jakarta yang diberikan oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen setelah dia dan pasukannya berhasil merebut Jayakarta dari kekuasaan Kesultanan Banten pada tahun 1619. Orang-orang Tionghoa yang menetap tersebut bekerja sebagai nelayan, pedagang, petani, dan sebagainya.

Orang-orang Tionghoa yang berada di perantauan tersebut membangun sebuah kelenteng untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga identitas spiritual mereka. Di kelenteng-kelenteng tersebut mereka berkumpul, berinteraksi, berdoa dalam keyakinan dan tradisi mereka, sehingga Kelenteng-Kelenteng yang didirikan pun biasanya berkaitan dengan kehidupan spiritual dan tradisi masyarakat yang mendirikannya.

Salah satu kelenteng bersejarah di Ibu Kota adalah Kelenteng Sin Tek Bio atau yang lebih dikenal dengan nama Vihara Dharma Jaya. Sebagai seorang penyuka sejarah terlebih sejarah kota sendiri: Jakarta, memanfaatkan moment liburan sambil jalan-jalan di seputaran pusat perbelanjaan Pasar Baru, saya berkesempatan mengunjungi kembali kelenteng tersebut pada hari Jumat tanggal 7 Juni 2019 yang lalu.

Dari pengalaman mengikuti beberapa Tur Kebhinekaan mengunjungi rumah peribadatan bersejarah di Jakarta, termasuk kelenteng, saya mendapati informasi dari tour guide bahwa terkadang kelenteng disamakan dengan vihara, meskipun sebenarnya kelenteng dan vihara adalah berbeda. Kelenteng merupakan tempat peribadatan umat Konghucu atau Tionghoa perantauan sementara vihara merupakan tempat peribadatan umat Budha. Kerancuan ini terjadi karena setelah terjadinya peristiwa politik pada tahun 1965, pada tahun setelahnya ada pembatasan segala sesuatu yang mengandung unsur budaya Tionghoa, sehingga banyak umat Konghucu bergabung dengan salah satu agama dari 5 agama yang diakui negara saat itu, salah satunya adalah Budha yang mungkin lebih dekat secara tradisi. Begitu pula tempat peribadatannya mulai bergabung dan menggunakan nama vihara. Namun seiring perjalanan waktu dan sejarah, pada saat ini agama Konghucu telah diakui dan Tahun Baru Imlek sudah ditetapkan sebagai hari Libur Nasional.

Perlu kejelian untuk menemukan Kelenteng Sin Tek Bio atau Vihara Dharma Jaya ini karena letaknya yang ada di dalam gang-gang sempit Pasar Baru, namun untuk para pencinta kuliner akan relatif lebih mudah menemukannya karena lokasinya terletak tidak begitu jauh dari dua warung bakmi legendaris Ibu Kota, yaitu Bakmi Aboen dan Bakmi Gang Kelinci. Saya pun menemukan papan petunjuk lokasi Vihara Dharma Jaya tidak jauh dari kedua warung bakmi tersebut. Alamat kelenteng ini ada di Jl. Pasar Baru Dalam Pasar No. 146 Jakarta Pusat.

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan Foto: Papan Penunjuk jalan menuju Vihara Dharma Jaya (Kelenteng Sin Tek Bio) di dekat Kedai Bakmi Gang Kelinci Pasar Baru

Setelah menelusuri gang-gang yang cukup sempit, tibalah saya dibangunan yang memiliki ciri khas sebuah Klenteng. Di bagian depannya terdapat dua patung singa penjaga dan bangunan Pagoda.

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan Foto: Bagian depan Kelenteng Sin Tek Bio dengan dua patung singa penjaga dan bangunan Pagoda di salah satu sisinya.

Di bagian atapnya, terdapat 2 patung naga dan mustika di tengahnya, ciri khas yang sama seperti yang terdapat di Kelenteng Tua dan bersejarah lainnya di Jakarta seperti Kelenteng Jin de yuan atau Kelenteng Kim Tek I di Petak Sembilan dan Kelenteng Ancol.

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan Foto: Ornamen pada bangunan atap Klenteng Sin Tek Bio: 2 patung Naga dengan Mustika di bagian tengahnya.

Ketika sampai di sana, saya disambut dengan ramah oleh penjaga Kelenteng dan dipersilakan masuk dan diijinkan untuk mengambil foto di dalam Kelenteng ini. Saya juga diberikan sebuah buku mengenai Riwayat Singkat Klenteng Sin Tek Bio ini.

Berdasarkan pada apa yang ditulis dalam buku Riwayat Singkat Sin Tek Bio Vihara Dharma Jaya Pasar Baru karya Bambang S (2006:4-5), kemungkinan Kelenteng Sin Tek Bio ini dibangun oleh para petani Tionghoa yang tinggal di tepi kali Ciliwung di sekitar Pasar Baru. Pada masa tersebut orang-orang pribumi dan Tionghoa tidak diperbolehkan tinggal di dalam kota Batavia, dan hanya pada siang hari saja sebagian dari mereka diperbolehkan masuk ke dalam kota Batavia. Sedangkan di daerah Glodok/Pancoran-pusat pemukiman orang Tionghoa terbesar di Batavia-kebanyakan dihuni oleh orang-orang Tionghoa yang mampu (pedagang). Oleh karenanya orang-orang Tionghoa miskin (petani) tinggal jauh di luar kota Batavia dan Pancoran. Mereka merambah hutan dan rawa untuk dijadikan perkebunan dan persawahan untuk bercocok tanam sayur-sayuran, padi dan tebu di ladang-ladang basah dekat sungai Ciliwung.

Lebih lanjut dalam buku Riwayat singat Sin Tek Bio tersebut dijelaskan bahwa dari data perabotan kelenteng yang masih ada dan keterangan dari pengurus/warga Tionghoa yang secara turun-temurun tinggal di sekitarnya sejak abad ke-18, Sin Tek Bio diyakini didirikan pada tahun 1698. Angka tahun 1698 ini berdasarkan buku daftar penyumbang pembangunan kelenteng itu yang ditemukan kemudian, dalam buku tua yang bertuliskan huruf Tionghoa itu tercantum angka tahun 1698 (tahun Macan), yang diduga sebagai tahun berdirinya kelenteng ini.

Di bagian dalam kelenteng terdapat ukiran 2 ekor makhluk mitologi naga yang melilit tiang-tiang utama Kelenteng. Menurut buku Riwayat Singkat Sin Tek Bio,selain patung 2 ekor singa penjaga di pintu masuk dan ornamen 2 ekor patung naga di dengan mustika pada bagian atap, ukiran 2 ekor naga yang melilit tiang utama menjadi ciri khas Kelenteng-Kelenteng yang dibangun sebelum abad ke-20 (2006:8).

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan Foto: Ornamen ukiran makhluk mitologi Naga yang melilit tiang di bagian dalam Kelenteng Sin Tek Bio.

Begitu masuk ke ruang utama di depan, saya merasakan kesan sebuah pesona bangunan kuno yang karenanya terasa sekali nuansa historisnya. Meski sudah beberapa kali mengalami pemugaran sejak masa Indonesia merdeka, Kelenteng Sin Tek Bio yang telah berusia lebih dari 3 abad ini masih berdiri kokoh di tengah himpitan gedung-gedung pusat perbelanjaan Pasar Baru dan Kelenteng ini juga menjadi saksi bisu perkembangan Pasar Baru sejak pertama kali didirikan hingga saat ini.

Di bagian depan ruang utama kelenteng terdapat sebuah Altar utama. Mengutip dari apa yang dituliskan dalam buku Riwayat Singkat Sin Tek Bio karya Bambang S (2006:12) Sin Tek Bio merupakan satu dari 9 Kelenteng Utama di Jakarta yang menempatkan Hok-tek Ceng-sin (Fu-de Zheng-shen) atau Tu-di Gong/Thouw-te Kong (Dewa Bumi dan Rejeki) sebagai Dewata/Sin-beng (Shen-ming) Utama di Altar. Patung Hok-Tek Ceng-Sin yang ada di altar utama diperkirakan sudah berumur sama dengan umur vihara ini, bahkan mungkin lebih tua sebelum tahun 1696 karena patung ini didatangkan dari negeri Tiongkok. Hok-Tek Ceng-Sin merupakan dewata favorit bagi orang-orang Tionghoa, karena pada umumnya mereka bekerja sebagai petani dan pedagang.

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan Foto: Altar Utama Sin Tek Bio yang menempatkan Dewa Kongco Hok-Tek Ceng-Sin (Dewa Bumi dan Rejeki) sebagai Dewata Utama dalam kepercayaan Konghucu dan Taoisme. Altar Utama ini dipenuhi Pelita dan Lampion yang menyala sepanjang tahun

Berjalan ke bagian tengah kelenteng saya mendapati Altar Sakyamuni Budha, para Budha dan Bodhisattva Buddhis.

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan Foto: Salah Satu Altar di bagian tengah Klenteng Sin Tek Bio

Di bagian dalam belakang kelenteng terdapat Patung Budha besar yang sedang tersenyum lebar. Pada waktu hari raya Imlek kemarin, kelenteng ini juga semarak dengan nuansa merah. Lilin-lilin besar menyala yang berwarna merah memenuhi altar-altarnya dan juga lampion-lampion indah yang menghiasi langit-langitnya.

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan Foto: Patung Budha tersenyum di bagian dalam Klenteng Sin Tek Bio

Di lantai dua juga terdapat beberapa altar dan banyak patung. Menurut informasi tedapat 14 altar di ruang utama dan 14 altar di lantai atas.

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan Foto: Salah satu Altar di lantai 2 Kelenteng Sin Tek Bio.

Saya sempat bertanya langsung kepada seorang Bapak penjaga Kelenteng mengenai jumlah patung yang ada di dalam kelenteng ini. Menurut beliau, di dalam vihara ini terdapat ratusan patung, dan ada sebagian yang sudah berusia tua yang berasal dari abad ke-17 dan selebihnya patung-patung baru yang berasal dari abad ke-20 ini. Menurut informasi, dalam kesehariannya Kelenteng ini juga sering dikunjungi oleh turis lokal maupun manca negara. Semoga bangunan tua ini dapat terjaga kelestariannya karena tingginya nilai sejarahnya yang telah berjalan seiring dengan perjalanan kota Jakarta sendiri pada umumnya dan kawasan Pasar Baru pada khususnya.

Sin Tek Bio, kelenteng bersejarah di tengah keramaian Pasar Baru

Keterangan: Beberapa patung dari ratusan patung yang ada di Klenteng Sin Tek Bio ini ada yang berasal dari abad ke-17

Akhir kata, tentu saja masih banyak yang terlewatkan dalam tulisan ringan ini karena tulisan ini dibuat hanya dari sudut pandang seorang penyuka sejarah Jakarta. Dalam perjalanan kali ini saya memilih mengunjungi salah satu kelenteng bersejarah di Ibu Kota, karena pengetahuan saya mengenai Kelenteng sangatlah minim. Dari sisi pribadi aktivitas mengunjungi kelenteng bersejarah ini menambah wawasan akan keberagaman agama dan keyakinan warga Jakarta yang juga telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah kota Jakarta dan penting bagi generasi muda untuk mengetahui sejarah panjang kehidupan bertoleransi di kota Jakarta ini. Tentu saja di Jakarta masih banyak Rumah Peribadatan yang juga telah menjadi situs bersejarah dengan kisahnya masing-masing.

Sebagai penutup saya ingin mengutip apa yang dituliskan oleh Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (1997:14-15): "Jakarta masih muda dibandingkan dengan Beijing (k.l. 300SM), Hanoi (abad ke-7M) atau Kyoto (794). Akan tetapi bila dibandingkan dengan ibu kota lain di Asia Tenggara sejarah Jakarta lebih panjang: Bangkok (1769), Sydney (1788), Singapore (1819) dan Kuala Lumpur (awal abad ke-19) semuanya jauh lebih muda dibanding Jakarta.

Jakarta tidak memiliki keindahan alamiah seperti Hong Kong dengan lalu lalang kapalnya di Pelabuhan, Jakarta tidak mempunyai istana kerajaan yang penuh patung berlapis emas seperti Bangkok, bukan daerah hijau di sekitar waduk air bersih di tengah kota seperti di Singapura; pun pula kurang bangunan-bangunan indah dalam alam hijau dan rapi seperti di Kuala Lumpur. Maka selamatkanlah kelebihan Jakarta! Pugarlah bangunan-bangunan lama yang menarik dan masih tersisa! Peliharalah dengan baik daerah khas di Jakarta yang belum punah!"