Hampir setiap sore, selama dua tahun inipenulis melakukan aktivitas joging atau lari santai di Taman Ratu Safiatuddin yang berada di Jalan Senangin, Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.

Selama dua tahun terakhir itu pulapenulis merasakan sensasi joging sambil mengetahui beragam bentuk bangunan rumah adat dari berbagai etnik yang ada di Aceh. Di taman yang dibangun saat akhir pemerintahan Gubernur Aceh Abdullah Puteh itu punya 23 anjungan rumah adat dari berbagai daerah di Aceh.

Mulai dari anjungan rumah adat Aceh Besar yang berada di sebelah kiri jalan masuk hingga anjungan rumah adat Subulussalam yang berada di sebelah kanan pintu masuk. Rumah adat ini mempunyai ciri khas yang sangat ikonik, perpaduan arsitektur modern dan tradisional. Arsitektur tradisional, bangunan berupa rumah panggung, bermaterial kayu, dan tidak memakai paku. Sedangkan arsitektur modern, bangunan berupa rumah berbahan material semen, batu bata, keramik, granit, kristal, dan kaca.

Di atas paving block yang sudah ditata rapi mengelilingi taman, menjadi track joging yang membuat penulis serasa sedang mengelilingi Aceh. Suasana joging di taman kebudayaan yang diresmikan oleh Presiden RI yang kelima yakni Megawati Soekarno Putri ini pun sangat nyaman, jauh dari kebisingan suara knalpot. Dan yang paling penting tidak ada pedagang yang menjajakan dagangan di sana, sehingga penulis tidak terdistraksi.

Hanya ada beberapa orang yang melakukan aktivitas joging di sana. Aktivitas lain, sekumpulan anak muda kampung sekitar yang sedang bermain sepak bola di lapangan tengah di sekitar panggung utama, sambil menunggu azan berkumandang. Kemudian, komplotan anak kecil yang sedang bermain sepatu roda, tentunya dengan dampingan pelatih dan orang tua yang menonton, sambil berteriak memberi semangat dari luar arena bermain.

Taman yang mendapat julukan Taman Mini Aceh ini sudah satu setengah tahun sepi karena pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia sejak awal tahun 2020. Sektor apa pun terpaksa harus dihentikan, termasuk sektor pariwisata, situs sejarah, dan sektor lainnya yang memiliki risiko menimbulkan keramaian.

Biasanya sebelum Covid-19, taman yang berada tepat di belakang Kantor Gubernur Aceh ini kerap dijadikan sebagai lokasi Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) setiap lima tahun sekali. Bahkan masyarakat Kota Banda Aceh lebih familiar dengan sebutan taman PKA ketimbang Taman Ratu Safiatuddin.

Kemudian, meski pamor Taman Ratu Safiatuddin masih kalah dengan destinasi wisata lainnya di Aceh, namun potensinya tidak bisa diabaikan. Taman ini kerap menjadi venue acara-acara maupun festival yang seru untuk dikunjungi. Seingat penulis terakhir acara besar yang di selenggarakan adalah Aceh Culinary Festival (ACF) tahun 2019 yang menyajikan 1.000 jenis makanan dan minuman. Beruntung, saat itu penulis menjadi bagian dari tim pembantu Event Organizer (EO).

Sekarang, hanya ada aktivitas olahraga di sana, termasuk joging. Biasanya, sebelum mulai joging penulis melakukan pemanasan dan peregangan terlebih dahulu. Pemanasan sangat penting ketika memulai segala jenis latihan untuk menghindari kram otot. Baru setelah semuanya beres penulis mengambil langkah pertama dan mulai berlari mengelilingi Taman Ratu Safiatuddin. Menariknya, di sini penulisbisa melintasi anjungan-anjungan rumah adat seluruh 23 Kabupaten/Kota di Aceh.

Sebelum mengenal lebih jauh, ada baiknya mengetahui siapa itu Ratu Safiatuddin yang diabadikan menjadi nama taman tersebut. Ratu Safiatuddin adalah salah satu Ratu yang sangat termasyhur dan disegani dari Kerajaan Aceh.

Sejarah Taman Ratu Safiatuddin.

Dikutip tempatwisata.pro, pembangunan Taman Ratu Safiatuddin diperuntukkanguna mengenang jasa serta dedikasi beliau semasa memimpin Aceh. Taman ini dibangun ketika masa kepemimpinan Gubernur Abudullah Puteh dan diresmikan oleh Presiden Indonesia kala itu, Megawati Soekarnoputri.

Awalnya, hanya terdapat 20 rumah adat dari 20 kabupaten/kota di Aceh. Namun, seiring dengan pemekaran daerah, Taman Ratu Safiatuddin kini ditambah tiga rumah adat lagi dari Subulussalam, Nagan Raya, dan Aceh Jaya. Di setiap anjungan rumah adat terdapat sebuah panggung utama yang biasanya digunakan untuk acara pentas seni dan pertunjukkan.

Sejarah Sultanah Ratu Safiatuddin.

Sultanah Ratu Safiatuddin ialah putri dari Sultan Iskandar Muda. Ratu Safiatuddin yang lahir pada tahun 1612 dan meninggal dunia pada tahun 1675. Sultanah Ratu Safiatuddin dengan nama Putri Sri Alam merupakan istri dari Sultan Iskandar Tsani yang kala itu memimpin Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Tsani meninggal pada tahun 1641, saat itu Aceh sangat kesulitan mencari pengganti beliau.

Istrinya, Ratu Safiatuddin, muncul menjadi kandidat terkuat saat itu. Namun, saat itu terjadi keributan antara para ulama dan wujudiyah yang tidak setuju jika Aceh dipimpin oleh seorang perempuan. Mereka beranggapan bahwa Aceh akan kehilangan kewibawaannya di mata dunia jika dipimpin oleh wanita.

Kemudian muncul nama seorang ulama besar bernama Nurrudin Al-Raniri yang menengahi kericuhan ini. Beliau pun menyanggah berbagai alasan yang dikeluarkan untuk menolak diangkatnya Ratu Safiatuddin sebagai pemimpin Aceh. Baru setelah itu, Ratu Safiatuddin berhasil memimpin Aceh selama 34 tahun, mulai 1641 hingga 1675.

Sebagai pemimpin baru Aceh, sang Ratu mendapat gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-'Alam Syah Johan Berdaulat Zillu'llahi fi'l-'Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Saat itu, dalam kepemimpinannya, Aceh mengalami perkembangan yang cukup pesat di berbagai bidang sastra, adat dan ilmu pengetahuan. Termasuk dibangunnya perpustakaan-perpustakaan sebagai upaya mencerdaskan rakyat.

Kajian dan literatur Islam berkembang pesat pada masa Sultanah Safiatuddin sehingga dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini". Ratu Safiatuddin sendiri dikenal memiliki hobi menulis sajak dan syair. Tidak hanya itu, ekonomi dan perdagangan Aceh juga menggeliat pada masa kepemimpinan beliau dan hubungan diplomasi dengan negara lain terjalin dengan baik.

Sang Ratu juga dikenal merupakan pemimpin yang cakap, arif, dan bijaksana. Ratu Safiatuddin membentuk sebuah pengawal istana yang beranggotakan perempuan. Pasukan ini juga ikut turun ke medan pertempuran ketika terjadi Perang Malaka pada tahun 1639. Beliau juga meneruskan tradisi dengan memberikan hadiah tanah kepada pahlawan perang.