Ilmu Komunikasi merupakan disiplin ilmu yang multidisipliner. Hal ini berimbas pada penelitian-penelitian yang dilakukan disiplin ilmu ini. Kali ini akan diuraikan sejumlah penelitian yang mengangkat keberadaan kalangan marginal di masyarakat yang ditampilkan dalam media film. Adapun kalangan marginal yang dijadikan fokus penelitian meliputi kalangan autis, kalangan difabel tuli, dan kalangan single mom. Kesemua penelitian yang diangkat dalam tulisan ini bertujuan menggambarkan representasi kalangan tersebut sebagaimana halnya yang ditampilkan melalui bahasa sinematografi film.

Film, merupakan situs penting tempat produksi makna terjadi. Oleh karena film merupakan media yang mencerminkan keyakinan budaya paling tertanam di masyarakat. Terdapat hubungan yang dinamis antara film sebagai budaya populer dengan kajian representasi di film. Pertama, budaya memengaruhi jenis alur cerita, karakter dan aspek konflik dalam film. Kedua, budaya juga memengaruhi resepsi penonton terhadap konten yang disampaikan film. Ketiga, bagaimana budaya melihat keberadaan kalangan marginal di masyarakat tercermin dari realitas yang diangkat film. Keempat, kualitas representasi kalangan marginal dapat diimbangi dengan keberimbangan jumlah representasi positif dan negatif dari kalangan marginal itu sendiri.

Berikut secara berurutan disajikan tiga penelitian dengan fokus kalangan marginal di masyarakat. Pertama, penelitian dengan judul Representasi Karakter Autis dalam film Dancing In The Rain (Diah dan Wijayanti, 2020). Berawal dari stigma negatif dan diskriminasi yang diterima kalangan penyandang autis dan keluarga dari masyarakat, penelitian ini dilakukan. Kurangnya pengetahuan masyarakat terkait karakteristik penyandang autis menyebabkan mereka memberikan stigma negatif dan perlakuan diskriminatif. Dalam film ini ditemukan sejumlah adegan yang menampilkan realitas bagaimana masyarakat memperlakukan karakter Dimas sebagai penyandang autis.

Temuan penelitian ini menunjukkan sejumlah mitos terkait penyandang autis seperti sindromautistidak dapat disembuhkan; penyandangautislemah, tidak berdaya dan tidak memiliki kuasa akan dirinya sendiri;penyandangautistidak dapat mandiri dalam kehidupan sehari-hari; ketergantungan penyandangautispada orang lain; penyandangautismemiliki pada fisik dan tidak memiliki perasaan atau sisi emosional yang berlangsung seumur hidup; dan penyandangautistidak bisa berprestasi karena tidak memilikikelebihan.Namun film ini justru meluruskannya dengan menampilkan bahwa penyandang autis dapat di-treatment menjadi lebih baik melalui terapi, sehingga memiliki kemandirian dalam kehidupan keseharian. Mereka juga dapat memiliki sisi emosional dalam relasi dan interaksinya dengan orang lain, terlebih dengan orang yang disayangi. Bahkan penyandang autis juga bisa berprestasi karena mereka memiliki kelebihan yang bahkan tidak dimiliki orang pada umumnya.

Kedua, penelitian berjudul Pemaknaan Penonton Terhadap Diskriminasi Penyandang Tuli dalam Web Series Isyarat (Handayani dan Wijayanti, 2021). Melalui penelitian ini, kita dapat mengetahui bagaimana preferred reading yang hendak disampaikan sutradara film terkait kalangan difabel tuli dimaknai kalangan penonton.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa web series Isyarat melalui delapan episodenya, memiliki preferred reading memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa penyandang tuli memiliki kemampuan untuk bekerja sebagaimana kalangan lainnya atau pada umumnya. Sehingga tidak perlu ada diskriminasi kerja untuk kalangan penyandang tuli. Pemaknaan yang sama dinyatakan oleh sebagian besar informan penelitian ini yang merupakan kalangan pekerja yang berusia antara 20-23 tahun dengan latar belakang pendidikan cukup tinggi dan tinggal di perkotaan.

Ketiga, penelitian mengambil judul Representasi Karakter Ibu Sebagai Orang Tua Tunggal dalam Film Wonderful Life (Aini dan Wijayanti, 2021). Pada penelitian ini, dilatarbelakangi adanya stigma negatif yang ditunjukkan pada kalangan ibu sebagai orang tua tunggal (single mom) di masyarakat. Sejumlah stigma negatif dilekatkan pada kalangan single mom. Pertama, single mom sebagai objek seksualitas. Kedua, perilaku anak merupakan tanggung jawab ibu. Ketiga, ketidakberdayaan perempuan sebagai single mom. Keempat, dilema single mom sebagai economic provider. Kelima, ketergantungan single mom terhadap keluarga sebagai support systems.

Temuan penelitian ini menyatakan bahwa single mom masih diposisikan sub ordinat dan masih didominasi keterlibatan pihak lain sebagai pengontrolnya, dalam hal ini dilakukan oleh keluarga sebagai support systems terdekat, khususnya ayah. Hasil temuan lainnya menyatakan bahwa di satu sisi, single mom ditampilkan overpositive sebagai individu pekerja keras, gigih, mandiri, meski di lain sisi, digambarkan individu yang tidak berdaya dan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Namun demikian, single mom di film ini ditampilkan sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap anaknya yang memiliki disabilitas sebagai penyandang disleksia.

Dari ketiga penelitian tampak adanya benang merah dilihat dari kesamaan awal penelitian. Penelitian ketiganya dilatarbelakangi stigma negatif dan perlakuan diskriminasi yang diterima dari masyarakat. Stigma negatif dan perlakuan diskriminasi ditengarai karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kondisi autis, difabel tuli, maupun single mom. Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan mereka sebagai kalangan yang diposisikan sebagai sub ordinat atau marginal di kalangan masyarakat.

Untuk itu karakter Dimas dalam film Dancing In The Rain, karakter Angkie dalam serial Isyarat dan karakter Amalia dalam film Wonderful Life seharusnya dapat dilihat sebagai sebuah upaya advokasi yang ditujukan pada para pembuat film untuk menceritakan kepada khalayak bagaimana kehidupan kalangan yang selama ini dianggap marginal di masyarakat secara berimbang. Sekaligus sebagai wacana di masyarakat untuk memberikan dukungan secara positif terhadap kalangan marginal dengan tidak mengucilkan mereka dalam kehidupan keseharian.