Meningkatnya kasus aktif per hari menyebabkan Indonesia harus menarik "rem darurat" dengan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dilansir dari JHU CSSE COVID-19 Data (2021), tercatat 8.692 kasus baru di Indonesia dengan rata-rata kasus per 7 hari sebanyak 9.231 pada tanggal 11 Januari 2021. Penerapan PPKM diharapkan mampu menekan penyebaran Covid-19 dengan membatasi gerak masyarakat dalam kegiatan sehari-hari seperti menutup sementara mal dan tempat ibadah, melakukan work from home (WFH), dan membatalkan kegiatan sosial budaya yang bisa memicu keramaian.

Namun PPKM memberikan dampak yang cukup signifikan bagi sektor ekonomi. Penutupan mal menyebabkan banyak pedagang kehilangan tempat usaha, tingkat okupansi hotel semakin rendah karena masyarakat takut untuk menginap, dan pemberlakuan jam malam menyebabkan pedagang kuliner kesulitan karena hanya berjualan dari sore hingga malam hari. Semua hal tersebut menyebabkan daya beli masyarakat menjadi lesu dan penerimaan pajak juga berkurang.

Pemberlakuan PPKM menyebabkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali merevisi outlook penerimaan pajak tahun ini. Outlook penerimaan pajak sepanjang 2021 diproyeksi menjadi Rp 1.142,5 triliun, hanya 92,9 % dari target APBN 2021 Rp 1.229,6 triliun. Artinya ada kekurangan pajak (shortfall) Rp 87,1 triliun. Penerimaan ini tumbuh 6,6% secara tahunan (year on year/yoy), tetapi masih tertekan dibanding semester I 2021. Lantas, pajak yang dibayarkan kepada negara ini digunakan untuk apa?

Alokasi penerimaan pajak selama pandemi.

Penerimaan pajak selama pandemi dialokasikan untuk instrumen pemulihan, seperti pemberian insentif bagi tenaga kesehatan, melakukan pembayaran bagi pasien Covid-19 yang dirawat menggunakan BPJS dan menyalurkan bantuan sosial bagi masyarakat yang membutuhkan. Vaksinasi bertahap yang diselenggarakan pemerintah juga menggunakan anggaran yang bersumber dari pajak sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan vaksin.

Lalu, langkah apa yang diambil pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penerimaan pajak di masa sulit ini?

Relaksasi perpajakan melalui insentif.

Langkah yang diambil Indonesia untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah perlahan-lahan memperbaiki ekonomi yang rusak akibat pandemi. Perbaikan ini dilakukan dengan menerbitkan kebijakan terkait relaksasi pajak untuk meringankan beban perpajakan masyarakat. Relaksasi pajak berupa insentif merupakan kebijakan untuk mengurangi beban pajak bagi wajib pajak.

Dilansir dari situs Direktorat Jenderal Pajak (2021), berikut beberapa contoh insentif pajak yang diberikan:

- Insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).

Karyawan yang bekerja di salah satu bidang usaha tertentu dapat memperoleh insentif PPh 21 ditanggung pemerintah. Jika sebelumnya karyawan dipotong PPh 21 atas penghasilan, nanti karyawan akan menerima gaji penuh tanpa adanya potongan PPh 21.

- Insentif Pajak UMKM.

Pelaku UMKM mendapat insentif PPh final tarif 0,5% sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 (PPh Final PP 23) yang ditanggung pemerintah. Pihak yang bertransaksi dengan UMKM tidak perlu melakukan pemungutan atau dipungut pajak ketika melakukan pembayaran kepada pelaku UMKM.

- Insentif PPh Pasal 22 Impor.

Wajib pajak yang bergerak di salah satu bidang usaha tertentu mendapat insentif dibebaskan dari pemungutan PPH Pasal 22 Impor. Insentif ini diberikan untuk menstimulasi wajib pajak yang menjadi pelaku usaha untuk melakukan impor di kondisi yang tidak kondusif ini.

- Insentif PPN.

Pemerintah menanggung PPN untuk barang yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi seperti obat, vaksin, alat laboratorium, dan alat pelindung diri. Insentif ini diberikan kepada badan pemerintah, rumah sakit, industri farmasi produksi vaksin, pihak selain pemerintah yang membantu penanganan pandemi dan wajib pajak pribadi yang memperoleh vaksin atau obat untuk penanganan Covid-19.

Pemberian insentif ini diharapkan mampu mencegah penutupan usaha, mengurangi PHK, memperkuat daya beli dan memulihkan kegiatan investasi perusahaan. Apakah memberikan insentif ketika pandemi merupakan tindakan rasional? Tentu saja tidak. Namun hal ini dilakukan agar pemulihan ekonomi dapat berjalan sehingga masyarakat mampu membayar pajak kembali setelah pandemi berakhir. Lebih baik pemerintah kehilangan sementara sumber penerimaan pajak karena pandemi daripada kehilangan sumber penerimaan pajak secara permanen ketika pandemi sudah berakhir.

Pengenalan pungutan pajak baru sebagai alternatif penerimaan pajak.

Lalu, adakah cara lain untuk meningkatkan penerimaan pajak? Tentu saja ada, Indonesia dapat meningkatkan penerimaan pajak dengan mengenalkan jenis pungutan pajak baru. Salah satu contohnya adalah pajak digital.Menurut situs Direktorat Jenderal Pajak (2021), pajak digital adalah pajak yang dikenakan untuk pemanfaatan barang tidak berwujud maupun jasa yang berasal dari luar Indonesia tetapi digunakan di Indonesia melalui perdagangan yang melalui sistem elektronik (PMSE) sehingga dikenakan PPN sebesar 10% dari uang yang dibayar untuk memperoleh barang atau jasa.

Contoh lainnya adalah perubahan tarif PPh untuk orang pribadi. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, pemerintah telah menetapkan 4 lapisan untuk tarif PPh berdasarkan penghasilan yang dimiliki sebagai berikut:

1. Penghasilan Kena Pajak (PKP) sampai dengan Rp 50.000.000 dikenai tarif 5%
2. Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 dikenai tarif 15%
3. Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 dikenai tarif 25%
4. Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 500.000.000 dikenai tarif 30%

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan ada penambahan lapisan bagi wajib pajak dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar dan dikenakan tarif sebesar 35%. Sehingga skema PPh wajib pajak orang pribadi akan berbentuk seperti ini:

1. Penghasilan Kena Pajak (PKP) sampai dengan Rp 50.000.000 dikenai tarif 5%
2. Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 dikenai tarif 15%
3. Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 dikenai tarif 25%
4. Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 500.000.000 dikenai tarif 30%
5. Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 5.000.000.000 dikenai tarif 35%

Kedua contoh tersebut diterapkan untuk menghindari potensi kerugian atas pendapatan pemerintah. Meskipun terlihat oportunistik, pajak yang dibayarkan wajib pajak digunakan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi, sehingga tidak ada salahnya jika pemerintah ingin memaksimalkan penerimaan pajak.

Ancaman resesi mengharuskan Indonesia bergerak cepat untuk menyelamatkan ekonomi yang mulai terpuruk. Pemberian insentif diharapkan bisa meringankan beban pajak masyarakat sehingga mereka mampu mengalokasikan pengeluaran untuk kebutuhan yang lebih mendesak seperti masker dan alat kesehatan.

Pemberian insentif menyebabkan pengeluaran semakin banyak dan penerimaan pajak menjadi berkurang sehingga pemerintah harus memutar otak mencari sumber penerimaan lain, salah satunya dengan menerapkan pajak baru. Diharapkan pajak baru ini mampu menjangkau sektor yang belum terkena pajak sehingga mengurangi ketimpangan beban pajak antara wajib pajak.

Ketaatan wajib pajak dalam membayar pajak juga berperan besar dalam pemulihan ekonomi sehingga diperlukan komunikasi dan kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah agar penerimaan pajak dapat berjalan lancar, dan pajak yang dibayarkan juga bisa dirasakan manfaatnya.