Gempa bumi tidak henti-hentinya meneror Pulau Lombok di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan daerah-daerah di sekitarnya. Hampir setahun sudah berlalu saat gempa berkekuatan magnitudo 7 yang terjadi beberapa kali dan merusak sebagian besar bangunan di wilayah yang terkenal akan pesona objek wisatanya sekaligus mendapat julukan sebagai Pulau Seribu Masjid tersebut.

Pada saat itu, lebih dari 500 warga harus kehilangan nyawa dan harta benda atas peristiwa tersebut, belum termasuk yang mengalami luka-luka akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Saat ini, pemerintah sedang dan telah membangun kembali Pulau Lombok, termasuk mendirikan rumah-rumah tahan gempa bagi para korban yang kehilangan tempat tinggal.

Walau telah berangsur-angsur pulih, kekhawatiran akan terjadi gempa bumi masih menghantui warga Pulau Lombok dan sekitarnya. Pasalnya, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Mataram, Agus Riyanto pada Kamis (4/7/2019), menginfokan bahwa Lombok Selatan menyimpan potensi terjadinya gempa megathrust dengan kekuatan magnitudo 8.5 disertai gelombang tsunami berketinggian hingga 20 meter, jangkauan berjarak hingga 5 kilometer. Ini merupakan hasil dari simulasi dan pemodelan tsunami (Tsunami Modeling) yang dilakukan, seperti dilansir dari tekno.tempo.co.

Untuk perkiraan waktu terjadinya bencana tidak ada yang dapat memprediksi walau menggunakan alat tercanggih sekalipun. Jika gempa yang diprediksi itu akan benar terjadi, daerah Kuta dan sekitarnya juga wilayah Selong Blanak, Awang akan terendam air laut yang diperkirakan jaraknya sejauh 3 hingga 5 kilometer. Lombok Barat juga akan terkena rendaman termasuk Mataram kira-kira sejauh 2 kilometer dari arah pantai.

Iamenambahkan, jika memang terjadi gempa lebih berharap skala kecil dengan intensitas banyak hingga akhirnya selesai dibanding tidak terjadi gempa dalam waktu lama yang justru tak diharapkan karena bisa memiliki energi besar saat sekalinya mengguncang, contohnya seperti gempa besar disertai tsunami yang pernah terjadi di Aceh pada 2004 silam.

Sejarah dan penelitian serta bukti jejak pasir hasil tsunami mengungkapkan pernah terjadi gempa besar di perairan Lombok selatan sekitar 500-1000 tahun silam. Terakhir adalah gempa besar di Sumba provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1977 yang juga berdampak pada wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Melihat kondisi tersebut, tentu semua pihak sangat membutuhkan pengetahuan tentang antisipasi dan pemodelan tsunami (Tsunami Modeling) untuk mengantisipasi terjadinya bencana gempa besar yang bisa memusnahkan bangunan hingga menyebabkan kematian.

Professor Ron Harris, seorang Pakar Geologi dan Kegempaan dari Universitas Brigham Young University, Utah, Amerika Serikat, telah melakukan riset bersama tim dari universitas lainnya dan menemukan hasil yang serupa, bahkan kekuatan gempa bisa mencapai magnitudo 9. Menurutnya, gempa yang berpotensi tsunami itu berpusat di Palung Jawa namun lokasi masih tidak bisa dipastikan apakah tepat di Lombok, Bali ataupun Jawa. Prof. Ron Harris menyampaikan hal tersebut pada seminar yang berlangsung di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Nusa Tenggara Barat, Kamis (4/7/2019).

Iamenjelaskan pergerakan zona penunjaman (subduksi), lempeng pada Lombok terutama bagian selatan tertekan sehingga bergeser sejauh 35 meter oleh lempeng Indo-Australia. Gempa bahkan bisa mencapai magnitudo 9.5 jika lempeng Lombok tidak bisa menahan tekanannya. Untuk terjadinya likuefaksi (tanah bergerak) seperti kejadian gempa Palu di Sulawesi Tengah itu kemungkinan kecil terjadi di wilayah Lombok.

Bagaimanapun, Kepala BMKG Mataram, Agus Riyanto mengimbau agar masyarakat Lombok tidak panik berlebihan atas informasi tersebut, bekali diri dengan pengetahuan dan untuk tetap selalu waspada.