Bicara mengenai karya sastra, tentu sudah banyak dari kamu yang tidak asing lagi dengan puisi. Puisi merupakan sebuah karya sastra berisikan sajak-sajak indah yang penuh dengan makna dan pesan dari penyairnya. Menurut Mabruri (2020), puisi diartikan sebagai bentuk aktualisasi diri yang dikemas dalam bahasa yang penuh arti dan terdengar indah. Berbeda lagi dengan Waluyo (1995) yang menjabarkan puisi sebagai karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan fokus pada penggunaan struktur fisik dan unsur batin pada bahasa yang digunakan.

Puisi yang indah merupakan puisi yang sarat akan makna, tetapi juga dapat dipahami oleh khalayak umum. Seperti puisi-puisi karangan Sapardi Djoko Damono yang sampai hari ini menjadi karya sastra yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan.

Sapardi Djoko Damono merupakan penyair Indonesia yang melambung lewat buku Hujan Bulan Juni. Puisi yang menceritakan mengenai hujan yang selalu turun tepat di bulan Juni ini juga diadaptasi menjadi berbagai bentuk karya seni, mulai dari lagu hingga film yang berhasil menarik animo masyarakat Indonesia. Dalam buku yang berjudul sama, Sapardi juga menyematkan sejumlah karya puisi lainnya. Salah satunya adalah Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati.

Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati

"bumi tak pernah membeda-bedakan, seperti ibu yang baik,
diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan
membusuk, seperti halnya bangkai binatang; padasuatu hari
seorang raja, atau jenderal, atau pedagang, atau klerek
sama saja;

dan kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada bedanya. ia seorang
tua yang rajin membersihkan rumputan, menyapu nisan,
mengumpulkan bangkai bunga dan daunan; dan bumi pun
akan menerimanya seperti ia telah menerima seorang laknat,
atau pendeta, atau seorang yang acuh-tak-acuh kepada bumi,
dirinya.

toh akhirnya semua membusuk dan lenyap, yang mati tanpa
genderang, si penjaga kubur ini, pernah berpikir:apakah
balasan bagi jasaku kepada bumi yang telahkupelihara
dengan baik; barangkali sebuah sorga atauampunan bagi
dusta-dusta masa mudanya. tapi sorgabelum pernah
terkubur dalam tanah.

dan bumi tak pernah membeda-bedakan, tak pernah mencinta
atau membenci; bumi adalah pelukan yangdingin, tak
pernah menolak atau menanti, tak akan pernah membuat
janji dengan langit.

lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa
menjaga kuburnya sendiri."

Tidak jauh berbeda dengan puisi buatannya yang selalu menggunakan bahasa-bahasa keseharian yang sederhana dan mudah dipahami, puisi yang dibuat di tahun 1964 ini memiliki tema yang menarik untuk mengungkapkan bagaimana sikap manusia yang sebenarnya. Selaras dengan judul yang disematkan, Sapardi menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan kematian, seperti kuburan, nisan, bangkai bunga, membusuk, dan terkubur.

Kendati Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Matimenggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam sehari-hari, Sapardi menggunakan kata-kata denotatif. Misalnya, pada frasa "yang mati tanpa genderang, bisa diartikan bahwa yang meninggal bukanlah orang yang memiliki kekuasaan ataupun dikenal banyak orang. Pada kata-kata di bait keempat yang menegaskan bahwa bumi tidak akan memberikan balasan dan hanya menyimpan atau mengurai jasad makhluk yang telah mati. Bumi juga tidak pernah memutuskan apakah makhluk yang mati tersebut akan berakhir di neraka atau surga.

Puisi ini pun langsung terlihat jelas maknanya begitu membaca bait pertama. Sapardi menggambarkan bumi sebagai seorang ibu yang akan menerima apa pun keadaan semua makhluk yang mati tanpa memberikan perlakuan khusus. Hal yang sama pun dikembangkan hingga di bait kedua yang semakin menegaskan bahwa puisi satu ini juga berfungsi sebagai pengingat bagi manusia bahwa pada akhirnya, semua manusia akan memiliki tempat dan perlakuan yang sama setelah mati. Memasuki bait ketiga, terungkap bahwa penjaga kubur yang selama ini tampak ikhlas dan tidak mengharapkan balasan ternyata juga memiliki harapan dan rasa penasaran akan apa yang akan ia dapat setelah apa yang dilakukannya selama hidup. Sayangnya, bumi tidak pernah menjanjikan untuk memberikan perlakuan spesial kepada orang-orang yang telah merawatnya. Hal tersebut juga kembali ditegaskan pada bait keempat dan kelima.

Puisi satu ini memiliki pesan yang cukup mendalam dan ingin mengingatkan bahwa setelah tak bernyawa, maka Tuhan akan memberikan perlakuan yang sama bagi semua makhluk-Nya. Baik si miskin atau si kaya akan tetap membusuk dan terkubur di dalam tanah tanpa beda. Sapardi juga menegaskan bahwa bumi atau Tuhan akan tetap menerima apa pun kondisi dari makhluk-Nya yang mati, entah ia merupakan seorang priyayi yang agamis dan berbudi luhur ataupun seorang pendosa.

Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Matijuga menegaskan bahwa manusia tetap memiliki rasa pamrih atas apa yang telah dilakukannya. Tidak ada yang benar-benar ikhlas dalam melakukan suatu perbuatan. Sama seperti penjaga kubur yang mati yang berharap dapat ditempatkan di surga. Hal ini sekilas juga mengingatkan manusia bahwa tujuan dari hidup manusia semata-mata adalah melakukan perbuatan dengan sebaik-baiknya, bukan karena untuk mengharap pahala dan surga.