Otak adalah salah satu komponen dalam sistem saraf manusia yang merupakan jalur untuk instruksidan memungkinkan tubuh melakukan suatu aktivitas. Otak memiliki berbagai fungsi, salah satunya adalah fungsi kognitif yang mana termasuk kemampuan manusia dalam menggunakan bahasa.

Bahasa.

Menurut Feldman (2017), bahasa merupakan komunikasi informasi melalui simbol-simbol yang disusun menurut aturan sistematis. Tidak hanya sebagai pusat komunikasi bagi manusia, bahasa juga berkaitan erat dengan cara manusia berpikir dan memahami dunia. Hubungan antara bahasa dan kognisi bisa menjadi kompleks karena kedua hal tersebut dapat saling memengaruhi. Pada satu sisi, bahasa adalah alat bagi manusia untuk mengekspresikan pikiran dan gagasannya. Sedangkan di sisi lain, cara kita membentuk kalimat dan menggunakan bahasa dapat didasarkan pada cara kita berpikir. Sebagaimana dalam sebuah bahasa, terdapat ketentuan yang berfungsi mengatur susunan penggunaan bahasa tersebut yang disebut tata bahasa (grammar). Terlepas dari kerumitan bahasa, kebanyakan dari kita mempelajari dasar-dasar tata bahasa tanpa memahaminya.

Cara manusia memperoleh bahasa.

Noam Chomsky (1975 dalamFeldman, 2017), seorang ahli bahasa asal Amerika Serikat, memberikan pendapatnya yang disebut Teori Nativis. Chomsky berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan kemampuan linguistik bawaan. Menurut pendekatan nativisnya terhadap bahasa, manusia secara biologis diprogram untuk mempelajari bahasa dengan cara tertentu pada tahap kehidupan tertentu. Terlebih lagi, Chomsky bersugesti bahwa semua bahasa di dunia memiliki struktur dasar sama yang telah terprogram, ditentukan secara biologis, dan bersifat universal (universal grammar).Pendekatan nativis mengasumsikan bahwa otak manusia mengandung perangkat atau sistem saraf yang diturunkan yang memungkinkan manusia untuk memahami struktur yang dimiliki oleh bahasa. Perangkat tersebut biasa disebut sebagai LAD (Language Acquisition Device) atau LAS (Language Acquisition System).

Melihatnya dengan pandangan yang berbeda, para psikolog yang mendalami teori belajar berpendapat bahwa pemerolehan bahasa mengikuti prinsip-prinsip penguatan dan pengondisian. Misalnya, seorang anak yang mengatakan "mama" akan menerima pelukan dan pujian dari ibunya, yang memperkuat perilaku mengatakan "mama" dan membuatnya lebih mungkin untuk mengulang perkataan tersebut. Pandangan ini menunjukkan bahwa pada awalnya anak-anak belajar berbicara dengan diberi penghargaan karena membuat suara yang mendekati ucapan suatu bahasa.

Di antara perbedaan kedua pandangan tersebut, banyak ahli teori mengambil pendekatan interaksi untuk menjelaskan pemerolehan bahasa. Pendekatan interaksi menunjukkan bahwa perkembangan bahasa bersifat biologis dan sosial, yang dihasilkan melalui kombinasi kecenderungan dan keadaan yang ditentukan secara genetik dalam lingkungan sosial seseorang yang tumbuh dan mendukung pembelajaran bahasa.

Secara khusus, para pendukung pendekatan interaksi berpandangan bahwa otak dirancang untuk akuisisi bahasa. Pada dasarnya, di dalam otak terdapat "perangkat keras" yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan kemampuan bahasanya. Namun, adanya paparan bahasa di lingkungan pun memungkinkan perkembangan "perangkat lunak" seseorang sehingga sesuai untuk memahami dan menghasilkan bahasa. Meskipun pendekatan interaksi memiliki banyak pendukung, masalah mengenai bagaimana bahasa diperoleh masih terdapat perdebatan (Feldman, 2017).

Bagian otak untuk penggunaan bahasa.

Bagian otak yang paling penting dalam aktivitas berbicara adalah otak besar (serebrum). Korteks serebral merupakan bagian otak besar yang berperan dalam pemrosesan linguistik. Korteks serebral tampak seperti benjolan putih berbentuk lekuk-lekuk dan lipatan-lipatan, serta merupakan bagian terbesar dari sistem otak manusia. Bagian ini mengatur atau mengontrol proses kognitif manusia yang salah satunya adalah bahasa.

Korteks serebral dapat dibagi menjadi dua bagian, hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Secara umum, pemrosesan bahasa seperti kemampuan bicara dan tata bahasa terjadi pada belahan otak kiri. Terdapat dua area di dalamnya yang dianggap memiliki peran yang besar dalam pemrosesan bahasa. Pertama, ada area Wernicke yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan interpretasi atau pemahaman bahasa. Kemudian, ada area Broca yang fungsinya berkaitan dengan ekspresi, pengungkapan bahasa atau kontrol bicara.

Perbedaan pada bilingual.

Bilingual merupakan sebutan untuk kemampuan seseorang memakai dua bahasa dengan baik. Berbagai hasil penelitian mengungkap bahwa terdapat perbedaan dalam otak bilingual dengan yang monolingual (pemakai satu bahasa). Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman belajar bahasa kedua meninggalkan jejak struktural di otak di daerah yang bertanggung jawab untuk akuisisi dan penggunaan bahasa seperti adanya perbedaan dalam struktur otak untuk kepadatan grey matter (substansi kelabu) dan integritas white matter (substansi putih). Penelitian lain telah menemukan peningkatan kepadatan grey matter di wilayah parietal inferior kiri, pusat utama untuk pemrosesan bahasa, yang berkorelasi dengan tingkat bilingualisme peserta (Bialystok, 2017).

Selain itu, terdapat penelitian lain yang menunjukkan bahwa kontrol bahasa jangka panjang dan berkelanjutan yang terkait dengan bilingualisme memiliki pengaruh pada fungsi otak (Bialystok & Poarch, 2014). Salah satu hasil yang menonjol dalam penelitian tersebut adalah peningkatan kontrol eksekutif untuk para bilingual. Kontrol eksekutif (executive control) atau fungsi eksekutif (executive function) adalah proses mental yang kompleks pada tingkat tinggi. Kontrol eksekutif termasuk berpikir, merencanakan, dan memecahkan masalah. Hal tersebut didapatkan dari terjadinya pengaktifan dua bahasa secara bersamaan sehingga membutuhkan sistem kontrol eksekutif untuk beralih antar bahasa. Secara lebih luas, kontrol eksekutif dapat meningkatkan pemrosesan konflik nonverbal. Oleh karena itu, para bilingual memiliki perbedaan yang menguntungkan ketika melakukan tugas-tugas yang memerlukan kontrol perhatian dan resolusi konflik.

Di sisi lain, orang yang bilingual sering memiliki pemrosesan bahasa yang lebih buruk daripada orang yang monolingual. Perbedaan antara monolingual dan bilingual dalam pemrosesan linguistik dan kemampuan verbal ditemukan dalam hal ukuran kosakata dan akses ke entri kata tertentu. Dalam dua studi skala besar, bilingual memiliki skor kosakata reseptif yang jauh lebih kecil dalam bahasa yang lebih sering digunakan. Tidak hanya itu, para bilingual biasanya membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk mengingat kata-kata individu daripada yang monolingual.

Dalam sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2005, penutur monolingual dan bilingual diberi tugas untuk menamakan gambar sederhana. Setelah terjadi pengulangan, kedua kelompok menjadi lebih cepat dalam menamai gambar, tetapi secara keseluruhan, monolingual tampil lebih cepat daripada bilingual secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa para pembicara bilingual memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan pembicara monolingual.