Seiring berjalannya waktu, di beberapa belahan dunia tren Islamophobia terus mengalami eskalasi. Pada 7 Juni lalu sebuah insiden penabrakan satu keluarga Muslim di Ontaria, Kanada, kembali menjadi kabar mengejutkan di tengah masifnya 'perlawanan' terhadap Islamophobia. Pihak kepolisian Ontaria mengatakan, keluarga itu sengaja ditabrak lantaran mereka Muslim.

Islamophobia atau ketakutan dan kebencian terhadap Islam sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah. Di mana kehadiran orang Muslim dianggap sebagai sebuah ancaman mengkhawatirkan.

Dalam kurun waktu singkat secara eksplisit seruan kebencian berupa narasi-narasi antiislam yang dipropagandai oleh kelompok sayap kanan mulai bermunculan di sejumlah negara non-Muslim dengan ideologi ekstremis. Seperti Amerika, India, dan sejumlah negara bagian Eropa.

Tahun 2017 lalu, di Amerika Serikat digelar pawai antiislam serentak yang dilatarbelakangi penolakan terhadap hukum syariat di AS yang dianggap mengancam kebebasan karena tidak sesuai dengan nilai dan kultur Barat.
Budaya Barat yang kental akan nilai-nilai Kristen sedikit banyak telah memengaruhi persepsi masyarakat Barat terhadap Islam. Eksistensinya (Islam) di tengah-tengah percampuran budaya (acculturation) yang resilien menjadi perhatian lantaran banyaknya perbedaan yang mencolok. Islam dengan cara berpakaian yang tertutup sangat kontradiksi dengan budaya berpakaian Barat yang bersifat bebas.

Gaya hidup yang cenderung primordial dan menolak orang tidak seidentitas membuat mayoritas masyarakat Barat anti terhadap Islam terkhusus pada orang berhijab dan menganggap segala aktivitas yang dilakukan merupakan sebuah gangguan dan ancaman.

Banyak orang Islam yang tinggal di negara non-Muslim mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan, lantaran cara berpakaian tertutup yang kerap kali dicap sebagai simbol keterbelakangan dalam menyikapi arus modernisasiyang mana modernisasi sendiri dianggap sebagai hasil pemikiran negara-negara Barat yang mayoritas penduduknya beragama Kristendalam kasus terburuk dapat berujung pada pembunuhan.

Politisi Sikh asal Kanada, Jagmeet Singh, mengatakan mereka (Muslim) dibunuh disebabkan bagaimana mereka beribadah dan berpenampilan. "Mereka dibunuh karena bagaimana mereka beribadah, bagaimana penampilannya. Itulah realitanya, mereka hidup dengan realita itu," ungkapnya. (Cordova Media, 2021)

Di sisi lain, oleh Barat, Islam juga dipandang sebagai 'agama orang Arab' dengan stigma yang melekat. Seperti orang kasar, selalu berperang, suka membunuh, dan segala macam prejudice lain yang relevansinya berkaitan dengan perang salib antar umat Islam dan Kristen dahulu, kemudian merangkak menjadi fragmen dari dinamika Islamophobia. Revivalisme Islamophobia bukanlah hal yang tidak mendasar, maraknya terorisme di dunia yang merusak etos kemanusiaan menjadi tak terbantahkan tatkala menyeret Islam ke dalamnya.

Realita mengarahkan opini Barat kepada keyakinan yang mendiskreditkan Muslim, betapa tidak, tatkala ruang-ruang publik dikuasai oleh media semakin gencar mengusung topik sensitif yang menayangkan aksi teror oleh kelompok bersenjata dengan memakai identitas Islam sehingga menimbulkan stigma bagi umat Muslim. Klaim atas tindakan yang dianggap sebagai wujud dari jihad fii sabilillah menjadi pokok dasar terhadap aksi teror yang mereka lakukan.

Runtuhnya gedung menara kembar World Trade Center pada 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat, yang dituduhkan terhadap kelompok militan Islam (al-Qaeda) merupakan puncak dari anggapan tersebut.Sejak peristiwa itu, terdapat kecenderungan mereduksi pengertian terorisme seolah identik dengan agama Islam.

Bukan rahasia umum lagi ketika mendapati segelintir orang asing (Barat) menyeru 'Islam is a terrorist', karena rentetan aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam terus terjadi dan digaungkan oleh media. Pada tahap lebih lanjut, diskriminasi terhadap Muslim terjadi di mana-mana yang berujung pada perpecahan hingga mengakibatkan kekerasan komunal.

Di samping itu, pergolakan politik yang terus mengambil alih ruang publik menghadirkan sejumlah politisi yang menggunakan Islamophobia untuk keuntungan politiknya. Mereka menggunakannya sebagai alat pemecah belah, menciptakan kubu ekstremis guna mendulang suara dengan mengeksploitasi keadaan.

Islamophobia ini sangat berbahaya. Jika dibiarkan, orang Islam akan mengalami segregasi sosial dan kesalahpahaman terhadap Islam dan penganutnya akan terus berlanjut. Selain itu, kefanatikan antimuslim yang terjadi dan telah menjadi ciri umum kehidupan publik di berbagai negara non-Muslim, dapat dijadikan sebagai alat intropeksi bagi umat terhadap apa yang terjadi pada Islam saat ini.

Esensi Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin menjadi abstrak ketika melihat realita yang ada. Beberapa pelaku teror sering mengatasnamakan Islam bahkan membawa nama kelompok Islam tertentu dalam menjalankan aksinya. Terlepas klaim itu benar atau salah, yang jelas aksi kekerasan bukanlah bentuk implementasi dari ajaran Islam. Islam adalah agama perdamaian, tidak mengajarkan berlaku buruk dengan berbuat kerusuhan dan kekerasan.

Untuk itu kemudian bagaimana mengatasi Islamophobia, dalam hal ini peran media menjadi langkah strategis dalam membangun opini publik. Di mana media merupakan kekuatan politik, sehingga umat Islam perlu memanfaatkan media untuk kepentingan syiar Islam. Peran media yang begitu masif dan memberi pengaruh besar terhadap kontrol masyarakat, diharapkan mampu menjadi sarana yang tepat dalam rangka menghapus stigma yang ditujukan kepada Islam. Sehingga fenomena Islamophobia dapat diatasi.

Oleh: Arifah Mutawaffika. Alumni SMA PPM Al-Ikhlas, Sulawesi Barat. Jurusan Hukum Tata Negara di UIN Malang