Beberapa waktu lalu negara kita diserang dengan aksi bom bunuh diri di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Aksi teror bom itu pun menambah daftar panjang serangan teroris di negeri ini. Terakhir, yang masih hangat dalam ingatan kita adalah aksi bom bunuh diri di 3 (tiga) gereja di Surabaya dan aksi bom di Sibolga, Sumatera Utara.

Aksi teror bom itu sungguh menambah ketakutan kita karena tak menutup kemungkinan akan ada aksi bom lanjutan yang tak tahu kapan terjadinya. Jadi, perlu pencegahan dan kewaspadaan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Selain itu, pihak kepolisian harus gencar untuk mencegah teroris melakukan aksinya. Lebih baik memproses atau menangkap terlebih dahulu teroris dari rencananya melakukan aksi bom bunuh diri, dibandingkan menangkap teroris setelah aksi bom terjadi.

Literasi agama.

Namanya aksi terorisme, diakibatkan adanya paham radikalisme ekstrem yang ditanamkan ke pikiran korbannya. Dengan begitu, timbul rasa ingin mengikuti karena doktrin yang ditanamkan tadi. Jadi, untuk memusnahkan atau pun menghapus paham itu dapat dilakukan dengan cara menguatkan literasi agama.

Kita ketahui ajaran agama adalah ajaran mengenai paham-paham mengenai Tuhan maupun kepercayaan kepada Tuhan, kebaikan dan kecintaan pada agama maupun sesama yang berbeda agama.

Saat ini, paham radikalisme yang merasuki pikiran dan sendi-sendi kehidupan dapat diputus dengan pemaknaan dan penanaman paham keagamaan lebih dalam lagi. Hal itu harus dilakukan karena aksi terorisme tak pernah habis. Selalu saja ada pelaku teror yang muncul, padahal sudah banyak pula teroris yang ditangkap dan dieksekusi mati.

Bayangkan saja, pelajar maupun mahasiswa terpapar paham radikal. Hasil survei Badan Intelijen Negara pada 2017, 39 persen mahasiswa terpapar paham-paham radikal. Dari data ini, 24 persen mahasiswa setuju menegakkan negara Islam melalui jihad. Bibit radikalisme juga ditemukan pada pelajar SMA.

Dengan literasi agama, maka bibit radikalisme itu dapat diputus. Dalam sebuah diskusi, sosiolog Universitas Nahdlatul Ulama, Neng Dara Affiah, mengajak mahasiswa memahami perbedaan antara Islam dan Islamisme. Islam adalah agama yang berlandaskan pemahaman Tuhan sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Namun, Islamisme adalah sebuah gerakan politik praktis yang membawa-bawa nama Islam dengan tujuan politik praktis.

Pemahaman itu penting untuk mendidik mahasiswa bahwa napas keagamaan merupakan kebaikan universal, bukan eksklusivitas dan primordialisme yang mengotak-ngotakkan masyarakat, sehingga memecah bangsa (Kompas, 25/5/2019).

Pengetahuan tentang perbedaan Islam dan Islamisme itu rasanya dapat menambah wawasan baru bagi masyarakat untuk dapat memerangi intoleransi dan radikalisme. Semua agar kita dapat hidup tenang dan nyaman sebagai bangsa yang beragam. Tindakan intoleransi maupun paham radikalisme tersebut tak layak untuk dibudayakan dalam kehidupan ini karena akibatnya akan merusak. Akan terjadi tindakan intoleran, seperti pelarangan pendirian rumah ibadah maupun pembakaran rumah ibadah. Terjadi pula politisasi agama dalam setiap pemilu maupun pilkada dan aksi terorisme, sehingga kehidupan menjadi gaduh, tak aman, dan rasa takut menyelimuti serta tidak tenteram.

Maka, sangat layak, dikuatkan lagi di kalangan pelajar maupun mahasiswa literasi agama dengan baik dan benar. Literasi agama itu dapat dilakukan dengan berbagai hal, yaitu mengajarkan pelajar maupun mahasiswa menulis cerita-cerita sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Dalam setiap kegiatan belajar mengajar, terutama dalam mata pelajaran agama, para pelajar dan mahasiswa diajak untuk beberapa menit menuliskan artikel, cerita, maupun naskah yang berbau agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.

Selanjutnya, pelajar dan mahasiswa diajak untuk banyak membaca buku-buku keagamaan, kitab suci yang ada di agama masing-masing. Setelah itu, guru maupun dosen semakin aktif mengajarkan mengenai penguatan ajaran agama agar lebih baik memaknai arti agama dan kritis dalam pengaplikasiannya.

Literasi agama itu patut untuk masuk dalam kurikulum pendidikan juga agar setiap sekolah melakukannya dengan lebih aktif dan mendalam. Semua itu agar membersihkan pikiran-pikiran pelajar maupun mahasiswa dalam bertindak dan beraktivitas. Tidak lagi melakukan tindakan radikal dan intoleran sebagaimana data yang disebutkan tadi.

Literasi agama itu pun sekaligus upaya deradikalisasi di sekolah dan sejumlah kampus yang ada demi mencegah teroris baru muncul dalam kehidupan kita. Semoga hal itu dapat dilakukan oleh sejumlah lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi.

Semua itu agar kita benar-benar bisa terbebas dari namanya aksi terorisme yang selama ini memberi rasa takut dan mengancam keselamatan. Benih-benih terorisme pun akan dengan sendirinya musnah dengan literasi agama yang baik dan benar. Semoga setiap keluarga Indonesia dan di sekolah mau membudayakan literasi agama demi memerangi aksi intoleransi dan terorisme yang masih mengancam kehidupan. Bila bukan kita yang berbuat, siapa lagi? Mari berliterasi agama bersama-sama!