Isu autisme merupakan isu sosial penting di masyarakat. Seiring waktu, terjadi peningkatan dalam jumlah penyandangnya maupun prevelansi (kemungkinan terjadinya). Sayangnya, di sisi lain, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap autis masih rendah. Akibatnya, fenomena stigmatisasi, diskriminisasi, maupun perundungan (bullying) terhadap para penyandangnya masih jamak terjadi di masyarakat. Kampanye autism is not a joke berupaya mensosialisasikan autisme yang benar kepada masyarakat. Berbagai media telah digunakan untuk kampanye autisme kepada masyarakat, mulai dalam bentuk poster, komik, maupun film. Film sebagai media persuasi dianggap efektif, dengan asumsi orang suka dan lebih percaya dengan cerita yang menyentuh perasaan dibandingkan dengan persuasi dalam bentuk doktrin. Anggapan tersebut tidak salah, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita (homo narrans). Kepercayaan masyarakat akan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui cerita (story telling). Film sebagai narasi, berupaya memotret realitas kehidupan penyandang autis sebagai bagian dalam masyarakat. Bagaimana potret isu autisme dalam film-film Indonesia?

Di Indonesia, ada beberapa film yang mengangkat isu autisme, di antaranya Im Star (2013), My Idiot Brother (2014), Malaikat Kecil (2015), Malaikat Juga Tahu (2013) dan Dancing In The Rain (2018). Pertanyaan menariknya adalah bagaimana autis ditampilkan dalam karakter di film-film tersebut? Berikut beberapa catatannya.

1. Karakter autis dominan ditampilkan melalui melalui sosok berjenis kelamin laki-laki.

Sepert karakter Hendra (My Idiot Brother), karakter Budi (Malaikat Kecil), karakter Abang (Malaikat Juga Tahu), karakter Banyu (Dancing In The Rain). Hal ini sesuai dengan temuan berbagai penelitian yang menyatakan bahwa jumlah penyandang laki-laki lebih banyak dibanding jumlah perempuan dengan perbandingan 5:1. Diharapkan ke depannya, film film Indonesia juga menampilkan perempuan sebagai penyandang autis, agar dapat menggambarkan realitas para penyandangnya secara lebih lengkap.

2. Karakter autis dijadikan sebagai pemeran utama dalam film.

Meski sebenarnya, bila kita amati akan selalu ada karakter kuat yang mendampingi karakter penyandang autis itu sendiri. Misalnya seperti dalam karakter Budi yang menjadi penyandang autis di film Malaikat Kecil,ada karakter ibu dan istrinya yang sama dominannya dengan karakter Budi sebagai pemeran utama. Atau dalam karakter Banyu di di film Dancing In the Rain, ada karakter eyang Uti dan karakter Radin dan Kinara sebagai sahabatnya yang memiliki peran dominan sama seperti karakter Banyu. Begitu pula dengan karakter penyandang autis dalam film Im Star yang diperankan benar-benar oleh penyandangnya, yakni Arya, Abhy, Shinta, dan Ervitha, mereka juga selalu didampingi karakter kuat yang sama dominannya, yakni dalam karakter Mella dan Derry sebagai teman sekolah mereka yang membantu keempatnya untuk memperoleh penerimaan dari lingkungan sekolah. Akan selalu ada karakter kuat yang memiliki peran dominan dalam perjalanan hidup karakter penyandang autis. Hal yang sama juga dilakukan dalam film-film asing yang mengangkat isu autisme, misalnya dalam film India My Name Is Khan, karakter utama Khan juga senantiasa didampingi karakter ibu dan istrinya sebagai karakter yang memiliki peran sama dominannya selama perjalanan hidup karakter penyandang autis sebagai pemeran utama film.

3. Penggambaran penyandang autis secara fisik dan perilaku.

Dalam film, karakter autis ditampilkan sebagai sosok dengan fisik yang memiliki karakteristik khas. Pada umumnya, tampilan fisik yang disajikan tidak melakukan kontak mata, melakukan gerakan khas repetitive seperti mengibas-kibaskan tangan. Sementara perilaku yang umumnya identik dengan karakter autis, misalnya phobia terhadap suara bising, ataupun ketakutan terhadap suatu hal tertentu. Masalah dalam bidang komunikasi dan interaksi sosial juga banyak ditampilkan dalam film-film tersebut, misalnya tidak fleksibel dalam konteks pembicaraan atau kebiasaan penggunaan bahasa baku dalam pergaulan. Bagian ini merupakan kesempatan bagi film menunjukkan peran mereka sebagai sarana edukasi untuk menyampaikan ciri-ciri dan karakteristik penyandang autis serta deteksi dini untuk menumbuhkan kesadaran di masyarakat untuk lebih aware terhadap lingkungan sekitar. Seperti dalam film Dancing In The Rain, ada bagian narasi dari salah satu pemeran dokter spesialis anak dan psikolog anak yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan autis, bagaimana karakteristik penyandangnya, dan bagaimana menanganinya agar penyandangnya memiliki kualitas hidup yang baik di kemudian hari.

4. Penyandang autis ditampilkan sebagai sosok pahlawan bagi orang-orang sekitarnya.

Dalam film, berbagai stigmatisasi, diskriminasi, dan perundungan mereka terima sebelum pada akhirnya mereka menjadi pahlawan. Penyandang autis ditampilkan sebagai sosok from zero to hero.Tampak pada karakter Budi (Malaikat Kecil) yang dikisahkan merupakan seorang ayah dengan dua orang anak, berusaha menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam keseharian, Budi bekerja keras untuk mencari nafkah, meski banyak rintangan dan cobaan yang dialaminya. Namun setelah melalui berbagai rintangan, diceritakan di akhir film, sosok Budi merupakan pahlawan bagi keluarganya, khususnya bagi kedua anaknya, dengan ditunaikannya janjinya kepada anak-anaknya untuk membelikan baju baru pada saat lebaran. Atau pada karakter Hendra (My Idiot Brother) yang menjadi pahlawan bagi adik perempuannya dengan menjadi dewa penyelamat bagi adiknya setelah mengalami kecelakaan. Senada dengan karakter Hendra, karakter Banyu (Dancing In The Rain) juga mejadi sosok pahlawan bagi sahabatnya, Radin yang membutuhkannya karena kecelakaan yang dialaminya.

5. Terkait dengan konsep menjadi hero, penyandang autis ditampilkan memiliki kelebihan yang tidak dimiliki kebanyakan orang, misalnya kecerdasan yang luar biasa, ingatan yang tajam.

Dalam film-film Indonesia, penyandang autis dominan digambarkan sebagai sosok yang sangat cerdas sehingga dengan kecerdasan tersebut, mereka mampu mengatasi berbagai masalah yang ada. Meski, sebenarnya dalam realita, jumlah penyandang autis yang memiliki kelebihan demikian tidak banyak. Sehingga dikhawatirkan dengan seragamnya pesan dari film-film Indonesia yang menyatakan bahwa penyandang autis adalah seorang yang cerdas, terjadi pemahaman yang salah dari masyarakat. Penyandang autis dianggap selalu cerdas, sehingga dapat mengatasi semua masalah mereka sendiri. Padahal, dalam kenyataannya, kecerdasan mereka juga sama seperti halnya keunikan mereka, satu sama lain tidak ada yang sama, bersifat sebagaimana pengertian spektrum, beragam warnanya.

6. Karakter autis ditampilkan selalu sebagai seorang yang berhati lembut, tidak pendendam, apa pun perlakuan orang kepadanya.

Kepasrahan dan penerimaan diri mereka sebagai penyandang autis terkadang ditampilkan secara berlebihan. Akibatnya, mereka sering kali menjadi korban dalam setiap permasalahan yang ada. Seperti yang dialami oleh karakter Abang dalam film Malaikat Juga Tahu, yang dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa seorang wanita yang dikaguminya tidak dapat dimilikinya karena ia yang menyandang autisme divonis tidak mungkin bisa menikah dan berkeluarga. Padahal mereka juga memiliki perasaan yang sama seperti halnya orang lain, bisa kecewa, bisa marah, bisa sakit hati.

7. Reaksi masyarakat terhadap keberadaan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam film-film tersebut, tampak bahwa rata-rata masyarakat belum paham apa itu autisme secara benar, sehingga berdampak pada bagaimana mereka bersikap pada para penyandang autis. Berbagai perilaku diskriminasi dan perundungan diterima para penyandang autis termasuk keluarga mereka dari masyarakat. Di Indonesia, istilah autis sendiri banyak disalahpahami sebagai bahan candaan, dikaitkan dengan istilah bagi orang yang kecanduan gadget, sehingga bersifat menyendiri. Masyarakat tidak pernah tahu bagaimana perasaan penyandang autis maupun keluarga mereka. Apa yang mereka lalui dalam kehidupan keseharian mereka. Dalam film-film tersebut, sedikit banyak ditampilkan gambaran realitas bentuk penerimaan masyarakat yang masih setengah hati dengan kehadiran kalangan penyandang autis.

Secara garis besar, disimpulkan bahwa dalam menampilkan karakter penyandang autis, film-film Indonesia masih memotret mereka sebagai kaum marginal. Meski para penyandang autis di satu sisi ditampilkan secara positif, bahkan terkadang cenderung dilebih-lebihkan, dan menjadi pahlawan bagi lingkungan sekitarnya. Namun, di sisi lain, akan selalu ada karakter pendamping yang sering kali lebih dominan mengatur karakter autis. Film-film tersebut berusaha memotret realitas fenomena autis di tengah masyarakat kita saat ini sekaligus mengedukasi pengetahuan autisme secara benar kepada masyarakat. Bagaimanapun juga, perlu kita apresiasi langkah awal sejumlah film Indonesia yang berani mengangkat isu autisme dalam filmnya. Ke depannya, kita harapkan lebih banyak lagi produksi film-film Indonesia yang berusaha memotret karakter autis yang memiliki banyak karateristik seperti halnya spektrum, senyata mungkin.