Pandemi Covid-19 terus menjadi topik pembicaraan sejak dua tahun terakhir. Banyak sektor yang mengalami kerugian karena adanya pandemi ini, khususnya sektor ekonomi. Banyak individu yang harus kehilangan pekerjaan, hal ini berlaku tidak hanya untuk perempuan tetapi juga laki-laki. Tidak sedikit perempuan yang akhirnya ikut bekerja untuk membantu perekonomian keluarga karena pihak laki-laki harus kehilangan pekerjaan selama pandemi berlangsung.

Namun bekerja setelah memiliki anak bukanlah hal yang mudah bagi perempuan, mereka harus membagi peran antara rumah dan pekerjaan atau disebut juga peran ganda. Hill ASEAN Studies melakukan riset pada tahun 2018 tentang hal tersebut dan menyebutkan bahwa persentase istri bekerja di Indonesia mencapai 60%, tetapi hanya 3 dari 10 suami yang bersedia membantu pekerjaan rumah (Anisa, 2019).

Selama ini perempuan selalu dianggap sebagai makhluk inferior jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut menyebabkan terjadinya bias gender, bias diartikan sebagai kondisi memihak atau merugikan, sedangkan gender adalah padangan dan keyakinan yang ada dalam masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harusnya berperilaku (Dhamayanti, 2019).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terus mengalami peningkatan tiap tahunnya tetapi masih lebih unggul pada pihak laki-laki. Tahun 2019 laki-laki menunjukkan persentase 73,04% sedangkan perempuan sebesar 65,13. Begitu pula pada tahun 2020 menunjukkan persentase 73,25 untuk laki-laki dan 65,42 untuk perempuan. IPM sendiri menilai tiga aspek, yaitu pendidikan, tingkat kesehatan, dan standar hidup layak (BPS, 2020).

Faqih (sebagaimana dikutip dalam Afandi, 2019) menyebutkan bahwa bias gender atau ketidaksetaraan gender memiliki beberapa bentuk, di antaranya adalah:

a. Marginalisasi, pembatasan akibat adanya perbedaan jenis kelamin.

b. Subordinasi, pembedaan perlakuan dan penilaian bahwa salah satu jenis kelamin lebih rendah dibanding yang lain.

c. Stereotipe, pelabelan pada suatu kelompok berdasarkan anggapan yang berlaku dalam masyarakat.

d. Kekerasan (Violence), suatu bentuk kekerasan baik fisik maupun nonfisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin pada yang lainnya.

e. Beban ganda, peran yang diterima oleh individu lebih banyak dibanding yang lain.

Kesetaraan gender memengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan dan dari berbagai bentuk kesetaraan gender, muncul yang dinamakan budaya patriarki. Charles & Bessler (sebagaimana dikutip dalam Afandi, 2019) medefinisikan patriarki sebagai bentuk keunggulan dan kekuasaan bagi laki-laki. Budaya patriarki membentuk individu untuk berpikir dan beranggapan bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Kultur tersebut yang akhirnya membentuk perbedaan perilaku dan otoritas pada perempuan dan laki-laki yang disebut dengan hierarki gender (Faturochman sebagaimana dikutip dalam Afandi, 2019).

Gender berbeda dengan jenis kelamin. Menurut Ann Oakley, ahli sosiologi dari Inggris sekaligus orang pertama yang mengusung konsep gender, gender adalah perbedaan yang ada pada diri laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi sosial dan budaya (Rahmawaty, 2015). Sifat gender yang sering muncul pada perempuan diidentikkan dengan sikap lemah lembut, emosional, keibuan atau disebut juga dengan istilah feminin, sedangkan sifat pada laki-laki seperti tegas, kuat, rasional, dan sifat tersebut disebut dengan maskulinitas. Tetapi sifat-sifat tersebut juga dapar bertukar, tidak sedikit perempuan yang kuat dan juga tegas, begitu pula dengan laki-laki. Dampak dari bias gender adalah terjadinya diskriminasi gender hingga kekerasan dan pelecehan seksual (Dhamayanti, 2019).

Seangkan jenis kelamin didefinisikan sebagai perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan secara biologis. Ciri fisik laki-laki adalah tumbuh jakun, memiliki penis dan sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, dan buah dada (Rahmawaty, 2015). Diskriminasi masih terus terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga diseluruh dunia. Hal ini menunjukkan masih adanya kendala dalam proses mewujudkan kesejahteraan gender dan besarnya budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat hingga saat ini. Jika kesetaraan gender dapat diseimbangkan banyak aspek dalam kehidupan yang akan tumbuh menjadi lebih besar dalam waktu yang lebih cepat (Widaningsing sebagaimana dikutip dalam Rahmawaty, 2015).

Indonesia tercatat pada peringkat 103/162 se-Asean mengenai Indeks Kesetaraan Gender pada tahun 2018. Indonesia sudah cukup baik dalam aspek pendidikan tetapi masih sangat rendah dalam aspek pekerjaan. Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) menyebutkan tidak satu pun perempuan dari negara dunia ketiga (Asia, Amerika Latin, Afrika dan Oseania) merasakan adanya kesetaraan gender baik dari aspek hukum, sosial, hingga ekonomi (Rini, 2021).

Selama pandemi bidang wirausaha di Indonesia meningkat dengan pesat. Menurut data yang dirilis oleh BPS pada tahun 2018 Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang dikelola oleh perempuan di Indonesia mencapai angka 37 juta atau setara 64,5 % dari total UMKM yang ada. Meskipun termasuk tinggi, Indonesia hanya berhasil menempati peringkat 94/137 berdasarkan data Global Enterpreneur Indeks, di antara negara Asean lainnya Indonesia masih jauh tertinggal (Rahman, 2021).

Kontribusi perempuan masih jauh lebih kecil jika dibandingkan laki-laki, tidak sedikit juga perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender. Ketimpangan gender terjadi karena adanya stereotip dan berubah menjadi budaya patriarki yang semakin terbentuk dalam masyarakat.