Koalisi plus-plus yang diutarakan Moeldoko menjadi kontroversi di publik, baik pro maupun kontra. Karena maksud dari proses pembentukan pemerintahan (kabinet) Jokowi tidak mengutamakan meryt system (asas profesionalitas), namun lebih untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan elit partai. Perlu ada wacana yang lebih cerdas untuk pendidikan politik bagi publik. Oleh karena itulah artikel ini dihadirkan.

Pernyataan Moeldoko tentang koalisi plus-plus menarik untuk dicermati. Ungkapan tersebut dilatari oleh serangkaian pertemuan antar tokoh politik: Jokowi-Prabowo, 4 ketum partai 01, Prabowo-Mega, dan Surya Paloh-Anies Baswedan. Ide koalisi plus-plus Moeldoko mendapat banyak tanggapan baik dari elit politik maupun para pakar. Seperti dari Mardani Ali Sera (politisi PKS) yang menegaskan PKS akan tetap jadi oposisi. Serta dari politisi PKB (Abdul Kadir Karding) yang menyebutkan bukan koalisi plus-plus, tapi koalisi terbatas. Yang agak unik tanggapan dari politisi Gerindra, menilai pernyataan Moeldoko tersebut berkonotasi negatif.

Teori Koalisi.

Dari semua pernyataan dan tulisan (artikel) yang menyangkut hal tersebut sangat jarang yang berbicara tentang substansi koalisi politik secara lebih cerdas sebagai bagian dari pendidikan politik kepada publik. Tulisan ini sedikit mengupas fenomena koalisi politik di Indonesia saat ini dengan pisau analisa Teori Koalisi dari Morgan dan Cheibub. Karakter koalisi ada 2, yaitu 1) Office seeking merupakan koalisi antar partai (kandidat) yang bertujuan mendapatkan kedudukan (kursi); 2) Vote seeking adalah koalisi partai (kandidat) yang bertujuan mencari suara (menang pemilihan). Sedang untuk jenis koalisi ada 5, yaitu:

1. Minimal winning coalition.

Maksimalisasi kekuasaan untuk sebanyak mungkin peroleh kursi di kabinet dan abaikan partai yang tidak perlu. Koalisi dibentuk tanpa perlu mempedulikan posisi partai dan spektrum ideologi. Yang paling penting adalah dapat merangkul minimal 50%+1 kursi parlemen.

2. Minimal site coalition.

Partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Dengan partai partner sekecil mungkin (hanya untuk penuhi 50%+1). Partai yang lebih besar akan mudah untuk ditekan keinginan terhadap partai partner tersebut.

3. Bargaining position.

Koalisi dengan jumlah partai paling sedikit. Prinsip dasar adalah memudahkan proses negosiasi dan tawar menawar karena anggota atau rekan koalisi hanya sedikit.

4. Minimal range coalition.

Dasar koalisinya adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis memudahkan partai-partai berkoalisi membentuk kabinet. Pertimbangannya partai-partai partner akan mudah capai konsensus karena kedekatan ideologi.

5. Minimal connected winning coalition.

Partai-partai berkoalisi karena masing-masing memiliki kedekatan dalam orientasi kebijakan (program). Partai-partai tidak sekadar bergabung untuk merebut kursi kekuasaan, tapi juga pertimbangan kedekatan garis kebijakan (program).

Fenomena koalisi politik di Indonesia.

Pasca Pilpres menjelang periode ke-2 pemerintahan Jokowi, koalisi yang sedang terbentuk adalah berkarakter vote seeking (untuk mendapatkan kursi di kabinet). Bentuk koalisinya adalah minimal winning coalition (untuk mendapat dukungan 50%+1 di parlemen). Dengan dukungan PDIP, GOLKAR, NASDEM, PPP (koalisi 01) sudah mengantongi dukungan 60% di parlemen. Rangkaian pertemuan pimpinan partai belakangan ini, disertai berbagai pernyataan elit-elit politik menunjukkan gejala pertarungan memperebutkan kursi di kabinet (mungkin juga kursi Ketua MPR di parlemen). Empat partai koalisi 01 terlihat menolak kehadiran partai lain yang ingin bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi. Namun PDIP terkesan ingin ada partai lain yang masuk koalisi Jokowi. PAN, DEMOKRAT, dan GERINDRA terindikasi kuat ingin ikut mencicipi legitnya kursi kabinet Jokowi. Kemungkinan bergabungnya PAN, DEMOKRAT, GERINDRA ke pemerintahan Jokowi inilah yang dimaksud Moeldoko sebagai koalisi plus-plus. Fenomena tersebut menggambarkan beberapa hal:

1. Pragmatisme politik yang ekstrem sedang menjangkiti elit-elit politik Indonesia. Tidak peduli beda secara ideologi atau orientasi kebijakan antar parpol di Indonesia bernafsu bergabung dalam satu koalisi demi jatah kursi. Bahkan yang tadinya bermusuhan secara ekstrem di pilpres, kini menyatakan minat untuk bergabung.

2. Perubahan kutub politik dari bipolar menjadi multipolar. Yang tadinya berpusat pada pada 2 kutub yaitu koalisi 01 dan 02, kini mencair bergerak mencari posisi sesuai kepentingan masing-masing.

3. Mengerasnya pertarungan politik yang berkarakter office seeking.Keretakan koalisi 01 jelas terlihat dengan adanya pertemuan 4 ketum partainya tanpa mengikutsertakan PDIP. Kemudian pertemuan Prabowo-Mega yang dibarengi pertemuan Surya Paloh-Anies Baswedan. Nyaris semua partai (minus PKS) berkeinginan masuk kabinet Jokowi. Lobi-lobi dan rangkaian manuver politik berseliweran di panggung depan dan panggung belakang politik.

4. Terjepitnya posisi Presiden terpilih. Jokowi sebagai presiden pilihan rakyat (bukan pilihan elit parpol) berada pada posisi sulit. Ia harus mengakomodir begitu banyak partai yang bernafsu mendapatkan kursi kabinet. Selain partai pengusungnya (PDIP, GOLKAR, PKB, NASDEM, PPP, HANURA, PERINDO, PSI, PKPI, PBB), Jokowi juga dihadapkan pada partai bekas lawannya (GERINDRA, PAN, DEMOKRAT) yang berminat masuk kabinet. Jokowi sulit bergerak di antara kerumunan oligark (para ketum partai) yang mendesakkan kepentingannya masing-masing. Kursi 34 menteri jelas tidak akan cukup memenuhi syahwat politik para elit tersebut.

5. Kesemua fenomena tersebut merupakan alarm bahaya bagi demokrasi. Setelah pesta demokrasi selesai (pileg dan pilpres) rakyat berduyun-duyun memberikan suaranya, kini suara rakyat dibajak oleh segelintir oligark (elit partai). Para pimpinan partai itu terlihat lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok politiknya ketimbang kepentingan rakyat banyak.

Koalisi plus-plus yang dimaksud Moeldoko mungkin ada tambahan partai di luar koalisi 01 yang akan bergabung ke kabinet Jokowi, seperti PAN, DEMOKRAT, atau GERINDRA. Disinilah letak absurditas politik Indonesia ditinjau dari teori koalisi. Koalisi yang dibangun semata-mata demi kepentingan kursi (office seeking berbentuk minimal winning coalition). Tanpa mengindahkan kedekatan ideologi (minimal range coalition) atau kesamaan orientasi kebijakan (minimal connected winning coalition). Hal ini secara perlahan namun pasti akan membusukkan proses demokrasi dan bernegara.