Setiap bangsa punya ciri khas masing-masing. Biasa dan normalnya berupa elemen bersifat kultural. Kebudayaan menjadi ciri khas dari bangsa tersebut. Elemen yang dimaksud bisa dalam berbagai bentuk; baik itu fisik maupun sebuah kebiasaan yang khas serta tidak ada (atau sedikit) yang memiliki selain bangsa itu sendiri. Keberagaman kultural seperti itu menambah keindahan hidup bermasyarakat; baik dalam lingkup lokal, nasional dan tentu saja dalam cakupan global.

Beberapa ciri khas sebuah bangsa biasanya terlihat dari apa yang mereka lakukan, gunakan maupun tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya busana pakaian yang dikenakan dalam beraktivitas. Walau busana Western atau yang berasal dari kebudayaan Barat seakan sudah jadi standar berbusana untuk berbagai suku bangsa di planet ini namun tentu saja tidak serta merta menghilangkan ciri khas busana dari kultur dan bangsa lain selain bangsa Barat.

Bangsa Arab misalnya. Di mana para prianya masih terlihat memakai busana khas kultur mereka berupa pakaian putih lengan panjang dari leher hingga mata kaki tanpa potongan yang disebut Thawb sehari-hari. Pakaian modern/Barat ada dan biasa dipakai oleh orang di jazirah Arab, namun hal tersebut tidak menghilangkan busana tradisional/kultural mereka seperti Thawb tadi. Keduanya dapat tampil berdampingan di berbagai kondisi; baik formal maupun informal. Dan itu sudah berlangsung ratusan tahun lamanya.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: AinOnline)

Begitu pula dengan bangsa Jepang. Seperti bangsa Arab, mereka juga punya busana tradisional yang disebut dengan Kimono.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: Kyotokimono-Rental)

(Standard disclaimer: Saya tidak menguasai sejarah maupun kultur Jepang dan tulisan ini hanya merangkum berbagai informasi yang tersedia secara online)

Memiliki arti makna pakaian, kosa kata kimono kini memiliki konotasi sebagai busana tradisional Jepang. Kira-kira seperti kebaya dalam kultur (Jawa) di Indonesia. Kimono sendiri memiliki sejarah panjang dalam kehidupan sosial di Jepang. Setidaknya tercatat dimulai dari Era Nara (tahun 710-794 Masehi) di mana orang Jepang memakai dua potong pakaian untuk atasan dan bawahan sebelum kemudian di Era Heian (tahun 794-1192) bentuk kimono tersebut disempurnakan. Disebut 'Jyuni-hitoe' dengan teknik jahitan kain yang berlapis setelah sebelumnya dipotong dalam bentuk lurus.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: Canacopegdl)

Dengan metode seperti ini, pembuat kimono tidak lagi perlu repot menyesuaikan ukuran pakaian dengan bentuk tubuh pemakainya karena hasil jahitan bersifat All Size yang bisa dipakai berbagai bentuk badan. Hasil jahitan juga lebih mudah untuk dilipat. Serta dapat menyesuaikan dengan cuaca empat musim yang ada di Jepang; di musim dingin kimono dapat dikenakan dengan cara berlapis untuk menjaga suhu tubuh agar tetap hangat dan di musim panas tetap dapat digunakan satu lapisan karena bahan kain yang digunakan memiliki sirkulasi udara baik seperti linen.

Seiring waktu, faktor warna dan motif mulai menjadi penting untuk kimono dan bahkan menjadi semacam simbol status pemakainya di kehidupan bermasyarakat. Secara umum, warna kimono merepresentasikan musim yang berjalan serta kelas sosial tertentu. Di Era Kamakura (tahun 1192-1338 Masehi) dan Muromachi (1338-1573 Masehi), rakyat sipil biasa mengenakan kimono dengan warna-warna cerah sementara kelompok militer/samurai dengan warna yang mewakili simbol dari pemimpin mereka. Di masa itu Jepang masih tercerai berai dan belum bersatu dalam konsep negara seperti sekarang. Banyak penguasa lokal / Daimyo yang memiliki pasukan militer sendiri-sendiri dan besar/kuat/berpengaruhnya mereka dapat dilihat dari kimono yang mereka pakai.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: Pinterest)

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: SilverdreamStudio.ru)

Di Era Edo (1603-1868 Masehi), di mana keluarga Tokugawa merupakan kekuatan militer dominan dan penguasa saat itu, kimono setiap wilayah dengan penguasa mereka semakin menunjukkan kelas masing-masing dengan warna serta corak motif spesifik yang melambangkan khas mereka. Pada masa ini kimono memiliki standarisasi dengan tiga potong pakaian: kimono untuk bagian luar, baju dalam tanpa lengan sebagai bagian dalam (disebut kamishimo) serta hakama yang berupa rok kulot mirip celana.

Berbahan linen, kamishimo mempunyai karakteristik yang menonjolkan bagian bahu pemakainya. Dan karena relatif merupakan benda mahal serta bersejarah, kimono secara umum memiliki nilai seni tinggi sehingga jadi bernilai ekonomi yang tinggi pula. Tak heran jika kimono juga sering menjadi bagian benda warisan turun temurun sebuah keluarga di Jepang.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: Pinterest)

Keharusan mengenakan kimono sebagai busana harian mulai luntur dan menghilang sejak Era Meiji (1868-1912 Masehi) dimulai. Restorasi Meiji mulai mengadopsi hal-hal berbau Barat dan itu termasuk cara dan model berpakaian bangsa Jepang. Seperti yang bisa dilihat dari foto-foto dari Era Meiji dan era-era selanjutnya, pejabat-pejabat militer (termasuk Kaisar) mengenakan busana militer yang mirip/terinspirasi dari seragam militer bangsa Barat.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: Sellingantiques.Co.Uk)

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: Japan Info)

Atau jika melihat manga/komik maupun anime/animasi kartun yang mengambil setting di era tersebut (seperti misalnya Rurou ni Kenshin / Samurai X) terlihat bagaimana pemakaian kimono maupun busana tradisonal Jepang mulai tergantikan dengan busana Barat.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: Fullhome.Online)

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: TheFanboySeo)

Dan hal itu berlanjut hingga sekarang / Era Reiwa; di mana pemakaian kimono kini lebih spesifik hanya di hari-hari maupun situasi tertentu seperti acara pernikahan, upacara kematian, minum teh ataupun festival musim panas serta acara-acara perayaan/matsuri lain. Untuk pakaian harian, orang Jepang kini lebih memilih kepraktisan busana Barat yang juga dilakukan banyak bangsa lain di dunia.

Masalah kepraktisan memang menjadi argumen mendasar kenapa bangsa Jepang modern memilih mengenakan kimono hanya dalam situasi tertentu saja. Kimono relatif ribet bahkan sejak akan mulai dijahit. Menjahit kimono tidak semudah busana Barat normal. Kain sepanjang 12-13 meter dengan lebar 36 hingga 40 sentimeter dipotong menjadi delapan bagian yang kemudian dijahit untuk menciptakan bentuk dasar kimono. Sebagian bahan kain yang digunakan saat ini berupa sutra, namun bahan katun juga dipakai terutama untuk pembuatan kimono musim panas (disebut Yukata). Tidak ada bagian kain yang tidak terpakai / menjadi kain perca karena semua bagian kain tersebut dijahit menyatu menjadi kimono utuh.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

Yukata (Sumber gambar: Taiko-Shop)

Dengan metode jahitan kimono tadi, mudah untuk memperbaiki bagian kimono yang rusak atau luntur; tinggal mengganti potongan yang rusak dengan potongan yang baru. Bahan kain dari daerah tertentu di Jepang juga menjadi bagian khas sebuah kimono. Seperti misalnya yuki-tsumugi yang dibuat di kota Yuki, Prefektur Ibaraki. Bahan kain yuki-tsumugi disebut sangat kuat dan mampu bertahan hingga 300 tahun.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

Yuki-tsumugi kimono (Sumber gambar: GoVoyagin)

Untuk pemakai kimono penggunaan Obi juga sangat penting. Berfungsi seperti ikat pinggang, Obi juga membuat tampilan kimono menjadi indah. Berupa kain dengan ukuran panjang 4 meter dengan lebar 30 sentimeter, Obi mengikat kimono dengan tubuh pemakainya agar bagian depan tertutup rapat. Pemakai kimono juga menggunakan haneri (semacam kerah putih untuk bagian dalam) dan tabi yang merupakan kaus kaki yang dipakai saat mengenakan sandal/zori. Haneri serta tabi normalnya berwarna putih bersih terlepas motif serta warna kimono yang digunakan.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

(Sumber gambar: Kimono-Sasaka)

Pemakaian kimono juga dapat menunjukkan status wanita yang memakainya. Untuk wanita yang belum menikah biasa memakai kimono berlengan panjang yang disebut furisode sementara untuk yang sudah menikah memakai tomesode yang berlengan lebih pendek dari furisode. Saat menikah, jenis kimono yang digunakan oleh wanita adalah shiromuku yang berwarna putih tanpa corak seperti kimono biasa.

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

Furisode (Sumber gambar: TJF.Or.Jp)

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

Tomesode (Sumber gambar: Japanese-Kimono)

Kimono, busana tradisional Jepang sejak ratusan tahun silam

Shiromuku (Sumber gambar: Maihanami Flickr)

Walaupun tidak lagi menjadi pilihan busana harian, namun kimono tetap dan sepertinya akan selalu punya tempat di bangsa dan kultur Jepang sampai kapan pun. Dikenal sebagai raksasa teknologi yang modern, Jepang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional yang sudah ada dan diwariskan secara turun temurun, termasuk soal berbusana. Apakah kamu pernah mencoba memakai kimono? Kimono jenis apa? Ceritakan pengalamanmu dengan kimono jika ada.