Penyebaran Covid-19 secara global telah memberikan dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan risiko kredit perbankan akibat menurunnya kinerja dan kapasitas debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran kreditnya. Hal ini berpotensi mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuangan yang pada akhirnya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga diperlukan kebijakan stimulus perekonomian yang bersifat countercyclical terhadap dampak penyebaran Covid-19.

Kebijakan ini akan ditujukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu dengan memberikan perlakuan khusus terhadap restrukturisasi kredit dengan jumlah tertentu kepada debitur yang terkena dampak penyebaran Covid-19, termasuk debitur UMKM. Kebijakan ini memang tidak akan bisa bertemu dengan ekspektasi semua pihak, tetapi tetap harus dilakukan agar debitur-debitur yang perekonomiannya terdampak oleh penyebaran Covid-19 dapat tetap memenuhi kewajiban pembayaran kreditnya.

Namun, kebijakan ini harus diterapkan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian yang disertai adanya mekanisme pemantauan. Bukan tanpa sebab, kebijakan semacam ini bila dilakukan dengan tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian yang disertai adanya mekanisme pemantauan bukan tidak mungkin memicu moral hazard yang mana debitur memanfaatkan kebijakan restrukturisasi kredit tersebut secara tidak bertanggung jawab sehingga akan memberikan dampak buruk ke likuiditas perbankan dan perekonomian nasional.

Presiden Jokowi telah memberikan arahan untuk merelaksasi kredit kepada pelaku UMKM berupa penundaan pembayaran cicilan selama satu tahun guna mengantisipasi pelemahan ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19. Arahan ini tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

Kebijakan relaksasi kredit tersebut hanya diperuntukkanbagi pelaku usaha yang berdampak langsung terhadap daya beli yang menurun akibat penyebaran Covid-19 dan bukan untuk seluruh debitur. Perbankan akan menanggung beban yang sangat besar jika seluruh debitur menangguhkan kreditnya selama satu tahun. Terlebih sekitar 30% kredit perbankan merupakan kredit konsumsi seperti KPR dan KPM. Sementara sekitar 15% hingga 20% di antaranya ialah kredit UMKM. Untuk debitur tersebut, OJK memberikan keleluasaan kepada bank untuk menawarkan skema restrukturisasi yang tepat, baik dari sisi jangka waktu, besaran cicilan, ataupun relaksasi bunga secara proaktif.

Selain hanya untuk debitur yang terdampak pandemi Covid-19, relaksasi ini bukan bermakna penundaan kredit secara keseluruhan. Pasalnya, kewajiban bunga pun perlu tetap dibayar. Kebijakan relaksasi berupa penundaan kredit tersebut akan kembali pada kebijakan masing-masing bank dengan melihat profil risiko debitur, termasuk debitur UMKM, dengan begitu debitur tidak serta merta dapat menangguhkan kreditnya.

OJK menyampaikan, ada empat syarat utama bagi debitur yang bisa mendapatkan relaksasi penundaan pembayaran cicilan kredit:

1. Bagi debitur seperti pekerja informal, berpenghasilan harian, usaha mikro dan usaha kecil yang terdampak pandemi Covid-19 dengan nilai kredit di bawah Rp 10 miliar.

2. Keringanan dapat diberikan dalam jangka waktu maksimal 1 tahun dalam bentuk penyesuaian pembayaran cicilan pokok/bunga, perpanjangan waktu, atau hal lain yang ditetapkan oleh bank.

3. Mengajukan kepada bank dengan menyampaikan permohonan melalui saluran komunikasi bank.

4. Jika dilakukan secara kolektif misalkan melalui perusahaan, direksi wajib memvalidasi data yang diberikan kepada bank.

Pengimplementasian kebijakan ini akan menimbulkan risiko kredit yang tinggi dan berpotensi menggerus keuntungan sektor perbankan bila tidak dikelola dengan baik. Misalnya, Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) bank akan meningkat pada tahun ini.

CKPN merupakan cadangan yang dibentuk bank untuk menghadapi risiko kerugian akibat penanaman dana dalam aktiva produktif. Selain itu, ada risiko penurunan keuntungan bank yang tercermin dari marjin bunga bersih (NIM). Hal ini terjadi karena penyaluran kredit baru pun diperkirakan bakal terhambat pada tahun ini. Sebab, likuiditas yang seharusnya bisa berputar dari pembayaran cicilan kredit justru harus dipakai untuk menalangi penundaan bayar dari debitur. Hal ini membuat likuiditas untuk penyaluran kredit baru pun akan macet, meski rasio kecukupan modal (CAR) bank masih relatif cukup.

Keringanan memang mau tidak mau harus diberikan. Meskipun kebijakan ini akan menurunkan cash flow bank, tetapi bank terhindar dari risiko kredit macet dan kredit yang direstrukturisasi tersebut masih terhitung lancar sehingga likuiditas perbankan akan tetap stabil. Sehingga bank tidak perlu menambah Non Performing Loan (NPL) untuk menambah cadangan kerugian akibat risiko kredit macet. Kendati belum ada perhitungan pasti, namun perkiraannya, NPL bisa melewati 5 persen pada tahun ini bila tak ada kebijakan restrukturisasi kredit. Sebagai gambaran, NPL bank secara gross masih di kisaran 2,79 persen pada Februari 2020.

Untuk itu, ketika kebijakan restrukturisasi kredit ini diterapkan, pemerintah harus memberikan kebijakan yang mampu menunjang kebutuhan likuiditas perbankan. Seperti yang telah dilakukan Bank Indonesia yaitu sampai bulan April 2020, Bank Indonesia telah menyuntikkan likuiditas ke pasar uang dan perbankan hampir Rp 300 triliun. Suntikan likuiditas dilakukan melalui berbagai kebijakan, yaitu seperti pembelian SBN dari pasar sekunder sebesar Rp 166 triliun, penyediaan likuiditas kepada perbankan sekitar Rp 56 triliun melalui mekanisme term-repo dengan underlying SBN yang dimiliki perbankan, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sebesar 50 bps yang berlaku efektif 1 April 2020 untuk menambah likuiditas perbankan sekitar Rp22 triliun, dan menurunkan GWM valas sebesar 4% untuk menambah likuiditas valas perbankan sekitar USD 3,2 miliar.

Tujuan dari kebijakan Bank Indonesia ini yaitu agar dapat menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan tetap memadai. Hal ini dikarenakan di saat bank harus menunda kredit, masih ada kewajiban menyerahkan bunga kepada nasabah dan menjaga kecukupan likuiditas bilamana nasabah ingin menarik uangnya. Pasalnya eksposur kredit pada sektor UMKM cukup besar.

Menurut data yang dimiliki OJK per Desember 2019 ada Rp 1.044 triliun untuk kredit UMKM dengan rasio kredit bermasalah 36,219 persen. Sedangkan untuk kredit konsumsi berjumlah Rp 1.559 triliun. Jika ada penundaan bayar besar-besaran, ada potensi Rp 2.500 triliun kredit akan terdampak dan mengganggu industri keuangan. Pemerintah bersama BI, OJK, dan LPS harus terus memonitor secara cermat dinamika kebijakan restrukturisasi kredit ini dan dampaknya terhadap sektor perbankan maupun perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu. Meskipun ketidakpastian pasar keuangan global menurun seiring kurva penyebaran Covid-19 yang melandai, tetapi tetap saja pandemi Covid-19 belum diketahui kapan akan berakhir, sehingga risiko-risiko yang ada harus terus dimitigasi.