Canon ialah anjing peliharaan milik salah seorang pemilik resort di Pulau Banyak, Nanggroe Aceh Darussalam yang mati pasca diadakannya penertiban wilayah oleh Satpol PP setempat. Pemilik menduga kematian Canon diakibatkan lantaran kehabisan napas saat dievakuasi dari Pulau Banyak menuju Kabupaten Aceh Singkil. Namun, Satpol PP beranggapan berbeda. Mereka berdalih bahwa telah menaati SOP dalam menertibkan anjing-anjing yang berada di Pulau Banyak. Hal ini pun kemudian menimbulkan respons yang beragam dari masyarakat atau netizen Indonesia yang berujung kontroversi.

Berbicara mengenai kontroversi atas kematian Canon, sebenarnya telah ada aturan yang jelas mengenai perlindungan hewan di Indonesia. Hal tersebut disebutkan dalam UU nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, di mana pasal 66 mengatur soal kesejahteraan hewan, serta Undang-Undang nomor 5 tahun 1990. Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia pun telah memuat pasal-pasal pidana bagi pelanggar undang-undang perlindungan hewan yang dituangkan dalam pasal 406 ayat 2 yang berbunyi "(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Lantas, mengapa penegakan hukum terhadap perlindungan hewan di Indonesia masih terkesan lemah? Bukan hanya Canon, di Indonesia sendiri masih sering kali terjadi kasus-kasus penganiayaan hewan oleh oknum tidak bertanggung jawab yang tak jarang berujung kematian pada hewan. Salah satunya adalah kasus penjagalan kucing bernama Tayo di mana pelakunya yang berasal dari Medan, Sumatra Utara divonis 2,5 tahun penjara.

Menurut Asia For Animals Coalition, Indonesia adalah negara nomor satu di dunia yang paling banyak mengunggah konten kekejaman terhadap hewan di media sosial. Dari 5.480 konten yang dikumpulkan, terdapat 1.626 konten penyiksaan berasal dari wilayah Indonesia.

Namun, kasus-kasus tersebut tidak lumrah ditemukan di ranah pengadilan. Apakah dasar yang mendasari lemahnya pengaduan masyarakat atas kasus-kasus ini? Serta, apa pula yang mendasari oknum penegak hukum terkesan tidak memberikan perhatian yang cukup mengenai kasus seputar penganiayaan hewan?

Wisata halal tak seharusnya jadi alasan penganiayaan hewan yang berkedok kelalaian.

Canon merupakan seekor anjing penjaga sebuah resor yang berlokasi di Aceh. Lokasi tersebut masuk dalam penerapan wisata halal oleh pemerintah Aceh sehingga keberadaan anjing sebagai hewan penjaga pantai menjadi polemik bagi masyarakat setempat.Pemerintah Aceh menurunkan surat perintah pemindahan Canon dan satu anjing lainnya kepada Satpol PP daerah dengan alasan penerapan wisata halal, dan tidak semestinya ada anjing di wilayah itu. Canon harus tetap dipindahkan untuk memenuhi surat edaran nomor 556/226/2019 tentang larangan memelihara anjing dan babi, agar tidak ada keluhan dari masyarakat. Dalam pelaksanaan evakuasi, Satpol PP menggunakan sebuah kayu sebagai alat bantu untuk memindahkan Canon. Tindakan ini direkam dan disebarluaskan di media sosial.

Proses penangkapannya menjadi perhatian banyak orang, terlebih dari para pencinta hewan. Satpol PP menjelaskan bahwa mereka telah bertindak sesuai SOP dan keamanan. Pada kenyataannya, anjing yang seharusnya dipindahkan dengan dimasukkan ke kandang yang layak malah dimasukkan ke dalam keranjang sayur yang ditutup rapat dengan terpal dan dilakban keliling. Perjalanan menuju tempat tujuan memakan waktu berjam-jam ditambah dengan cuaca yang panas. Ketika sampai, Canon sudah lemas dan tidak bernyawa. Beruntung, anjing lainnya masih dapat diselamatkan. Hal tersebut kemudian menjadikan kasus ini kontroversial. Canon dinyatakan mati karena kekurangan oksigen. Lepas dari benar atau tidaknya kesalahan ada di pemilik resor atau anjingnya yang mengganggu warga, kelalaian aparat dalam proses pemindahan sungguh disayangkan dan dinilai kejam oleh masyarakat luas.

Kasus Canon di atas secara tidak langsung menjadi salah satu kasus penyiksaan hewan yang sempat viral dari antara sekian banyak kasus lainnya. Kehidupan hewan baik sebagian atau seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu. Pada kenyataannya, sampai sekarang negara kita memiliki perlindungan satwa yang minim. Setiap hari masih banyak terjadi kasus kekerasan atau penyiksaan satwa liar ataupun hewan peliharaan. Di lingkup alam, contohnya seperti perburuan dan perdagangan liar. Sedangkan untuk hewan peliharaan seperti, adu anjing, penjualan daging anjing atau kucing, atraksi sirkus, topeng monyet, serta tindak kekejaman pada hewan sekitar. Jika penyiksaan ini tidak segera ditangani, cepat atau lambat hewan-hewan akan menjumpai kepunahan.

Hak asasi hewan sudah dideklarasikan pada tahun 1978. Manusia dituntut dapat hidup berdampingan dengan satwa agar keseimbangan ekosistem terjaga. Segala bentuk penyiksaan binatang harus dilawan karena mereka pun memiliki hak untuk hidup dengan aman dan nyaman tanpa kekerasan atau rasa sakit.

Perlu diakui bahwa dalam aspek kesejahteraan binatang, Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain. Bahkan, Indonesia mendapat julukan "juara konten siksa hewan". Tentunya, penganiayaan binatang terus berlanjut hingga kini karena ancaman hukumannya terlalu ringan, tidak memberikan efek jera. Di luar negeri, kesejahteraan hewan sudah diterapkan dengan baik. Peraturan tentang pelarangan segala bentuk aktivitas hewan sebagai sirkus dan bahan peternakan bulu. Peraturan yang mendorong perilaku manusiawi pada hewan. Serta, pelarangan pembatasan pergerakan hewan yang bisa menyebabkan luka atau trauma.

Seorang aparat penegak hukum seharusnya melakukan tugas, fungsi, maupun tanggung jawabnya dengan baik dan benar sesuai dengan Peraturan Pemerintah, contohnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2018 yang mencakup tentang peraturan yang mengatur Satpol PP, bahwasannya Satpol PP adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

Oleh karena itu, seharusnya dalam menjalankan tugasnya seperangkat aparat penegak hukum harus melihat dari segala aspek, apakah suatu tindakan akan merugikan atau tidak, agar tidak terjadinya kelalaian yang merugikan masyarakat maupun makhluk hidup lainnya, di mana pada isu kali ini para aparat penegak hukum yaitu Satpol PP melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya yang berakibat merugikan seekor anjing hingga tewas.Maka dari itu, dari kasus ini aparat dapat lebih bijak dalam melakukan tugasnya sesuai dengan SOP yang berlaku. Kurangnya kinerja aparat hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak kejahatan terhadap hewan membuat tindak kejahatan semakin meningkat dan hambatan dalam penegakan ataupun memberikan perlindungan satwa dikarenakan kurangnya kesadaran terhadap pelindungan pada satwa.

Urgensi penguatan atas penegakan hukum terhadap pelanggar perlindungan hewan.

Lemahnya penegakan hukum terhadap hewan disebabkan karena hambatan yang datang dalam melakukan suatu proses perlindungan hukum. Hambatan ini dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat atau manusia, yang mana manusia menganggap bahwa hewan hanyalah makhluk biasa, padahal sebaliknya sebagaimana manusia yang merupakan makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa mempunyai hidup yang setara juga dengan makhluk hidup lainnya, termasuk hewan. Penegakan hukum terhadap hewan belum mendapatkan kepastian dalam menerapkan atau memberi sanksi yang sesuai dengan apa yang dilakukan para pelaku kejahatan penganiayaan hewan. Bahkan, ada sanksi yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang sudah diatur baik lewat Undang-Undang No.5 Tahun 1990 dan aturan hukum lainnya.

Edukasi kepada masyarakat tentang perlindungan terhadap hewan merupakan hal yang sangat dibutuhkan. Kurangnya atau ketidakadaannya kesadaran manusia terhadap hal ini berarti nilai atau kaidah hukum yang sudah diatur sedemikian rupa belum bisa diimplementasikan ke dalam kehidupan. Seperti, kaidah agama yang merupakan bentuk pengajaran terhadap manusia untuk memiliki kehidupan yang baik terhadap lingkungan sekitarnya.

Oleh:Andrea Fidella Irta Kusuma,Aurelia Rizky Ediana,Dzakwan Ahmad F. S,Gevacia Ito Blanka, danRio Habibullah.