Sepak bola didasari budaya komunal yang mengakar kuat di tiap masyarakat yang gila bola. Ada banyak hal menarik yang bisa dikupas dari budaya tiap masyarakat tersebut yang tentunya memilki keunikan masing-masing. Budaya tersebut mudah menular, apalagi kalau bukan karena sepak bola adalah budaya global. Dari yang terlihat secara kasatmata seperti gaya berpakaian suporter, yang terdengar telinga seperti chants suporter ketika timnya berlaga, maupun hal-hal prinsipil seperti filosofi mendukung sebuah tim sepak bola mudah menular dari budaya sepak bola tertentu dan diikuti oleh budaya lainnya termasuk oleh masyarakat pencinta sepak bola di Indonesia.

Sepak bola di Indonesia sendiri berkembang pesat dengan budayanya yang tentu memiliki keunikan tersendiri. Menurut Anthony Sutton, seorang ekspatriat asal Inggris pemerhati sepak bola Indonesia yang telah menulis buku Sepakbola: The Indonesian Way of Life, budaya sepak bola Indonesia adalah yang terbaik di Asia Tenggara. Dengan segala kelebihan maupun kekurangannya, budaya sepak bola Indonesia sendiri sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya sepak bola Eropa. Sebagai kiblat dunia sepak bola, Benua Biru selalu memiliki daya pikat bagi budaya sepak bola kita. Akan sangat menarik jika kita mengupas budaya sepak bola Eropa dan membahasnya melalui masing-masing budaya negara Eropa yang dikenal sebagai negara sepak bola.

Inggris sebagai negara sepak bola tertua di mana kompetisi sepak bola dan klub sepak bola tertua berasal punya budaya sepak bola kuat yang juga dipengaruhi hal-hal lain seperti musik, fashion, dan preferensi politik. Layaknya subculture yang lebih dulu ada seperti mods dan skinhead, di Inggris ada fenomena sosial yaitu casual, sebuah subculture suporter sepak bola yang mudah dikenali lewat fashion mereka. Subculture ini berawal pada akhir 1970-an ketika banyak suporter mulai memakai pakaian label desainer yang modis dan mahal untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak memakai pakaian dengan identitas klub, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok saingan dan untuk masuk ke pub.

Budaya suporter di Italia juga memiliki kesamaan dengan Inggris dari segi fashion. Berpenampilan modis ketika mendukung tim kebanggaan di stadion adalah sebuah kewajiban, apalagi negara ini dikenal sebagai ibu kota fashion di dunia. Menggunakan pakaian seperti parka, jaket harrington, track suit, dan sepatu trainer mahal telah menjadi budaya suporter sepak bola Italia dan Inggris yang banyak diikuti oleh suporter dari negara lain, termasuk di Indonesia. Suporter kita mulai berdatangan ke stadion dengan menggunakan parka, track suit, atau jaket harrington dan sepatu trainer. Fashion ala suporter sepak bola Inggris maupun Italia nampaknya jadi budaya yang sah-sah saja jika diikuti oleh suporter sepak bola kita. Meskipun rasanya kurang cocok jika suporter kita yang tinggal di daerah tropis mengenakan pakaian seperti parka yang cocok dikenakan di daerah dengan empat musim. Yang penting suporter kita jadi lebih modis ketika dateng ke stadion dan tidak lagi menggunakan sandal yang menurut saya berbahaya karena dapat mencederai kaki jika terinjak oleh orang lain ketika banyak bergerak di tribun penonton.

Jika budaya fashion sepak bola eropa pantas-pantas saja untuk ditiru, ada hal yang jangan sampai ditiru oleh suporter klub sepak bola dari kultur Eropa, yaitu rasisme. Suporter klub sepak bola Italia boleh saja jadi yang paling modis di seluruh dunia, tapi soal etika hilang respek rasanya pada sepak bola Italia karena sangat lekat dengan rasisme. Kasus yang belakangan ini menguak yaitu kasus rasisme terhadap Moise Kean, pemain Juventus dan timnas Italia keturunan Afrika yang mengalami rasisme saat pertandingan melawan Cagliari. Sejak awal pertandingan, suporter Cagliari mengeluarkan teriakan yang menyerupai suara monyet untuk mengejek Moise Kean. Di menit ke-85 Kean mencetak gol lalu berlari menuju pendukung lawan dan berdiri terpaku sambil merentangkan tangan di depan mereka.

Kasus yang dialami Moise Kean adalah kasus rasisme kesekian kalinya yang terjadi di sepak bola Italia. Yang mengecewakan dari kasus ini, setelah pertandingan pelatih Juventus Massimiliano Allegri dan rekan satu tim Kean, Leonardo Bonucci justru berkomentar bahwa apa yang dilakukan Moise Kean terlalu reaktif dan tidak perlu dilakukan. Hal ini sangat disayangkan karena rekan satu tim dan pelatih yang merupakan orang Italia ras kulit putih seharusnya adalah pihak yang ikut protes terhadap tindakan rasisme bukan malah menunjukkan sikap defensif.

Rasisme nampaknya akan selalu menjadi budaya sepak bola Italia, karena FIGC atau federasi sepak bola Italia juga memiliki sikap buruk dan tidak tegas terhadap kasus-kasus yang terjadi. Bahkan, FIGC memutuskan bahwa suporter Cagliari yang jelas-jelas melakukan tindakan rasisme tidak bersalah dan akhirnya tidak disanksi karena menganggap rasisme dilakukan hanya oleh segelintir orang. Budaya yang jangan sampai ditiru oleh suporter maupun federasi sepak bola Indonesia.

Urusan rasisme sepak bola kita harus meniru budaya sepak bola Belanda yang lebih tegas mengenai tindakan yang tidak beretika ini. Di kompetisi sepak bola Belanda, wasit akan dengan tegas menghentikan pertandingan jika ada tindakan rasisme yang terjadi seperti suporter yang menirukan suara monyet untuk mengejek pemain keturunan Afrika. Tindakan ini pernah terjadi ketika wasit dua kali menghentikan pertandingan antara AZ Alkmaar melawan Den Bosch berlangsung di mana suporter Den Bosch berteriak dan bersiul mengejek Jozy Altidore pemain AZ Alkmaar asal Amerika Serikat keturunan Afrika.

Meski reputasi kompetisi sepak bola Belanda tidak sebesar kompetisi sepak bola Italia, namun ada hal yang perlu ditiru yaitu budaya ketegasan akan melawan tindakan rasisme. Sepak bola Indonesia harus punya budaya yang tegas menentang rasisme jika nantinya terjadi. Federasi harus punya sikap yang tegas begitu pula pemain dan suporter harus melindungi pihak yang menjadi korban rasisme agar setidaknya budaya bola kita beretika meskipun prestasi tim nasional masih selalu kita rindukan.