Pembahasan tentang circular economy yang selanjutnya kita sebut ekonomi sirkular semakin meluas dan intensif dalam beberapa tahun terakhir. Ekonomi sirkular menjadi seperti menemukan momentumnya bersamaan dengan pandemi Covid-19 dan semakin tingginya kesadaran akan pentingnya keberlangsungan lingkungan hidup baik di darat, air dan udara maupun sumber-sumber energi yang terbarukan. Para pendidik, akademisi, peneliti, maupun praktisi sangat gencar membahas ekonomi sirkular dan keberlanjutan (sustainability) (Nikolau dkk., 2021).

Apakah sebenarnya ekonomi sirkular tersebut? Gagasan tentang ekonomi sirkular sebenarnya bukanlah baru, sudah pernah disampaikan oleh Pearce & Turner (1990), tetapi baru mendapat perhatian luas beberapa tahun terakhir.

Definisi ataupun pengertian tentang ekonomi sirkular amat banyak dan beragam. Kirchherr, Reike, & Hekkert (2017) melakukan studi terhadap 114 definisi ekonomi sirkular yang digunakan di berbagai publikasi, dan kemudian menyimpulkan satu definisi ekonomi sirkular sebagai " menggambarkan satu sistem perekonomian yang berbasis kepada model bisnis yang menggantikan konsep end-of-life dengan mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang dan memulihkan material-material di dalam proses produksi/distribusi dan konsumsi, yang berjalan di tingkat mikro (produk, perusahaan, konsumen), tingkat menengah (kawasan industri) ataupun tingkat makro (kota, propinsi, negara atau yang lebih besar), dengan tujuan mewujudkan pengembangan yang berkelanjutan yang berdampak kepada penciptaan kualitas lingkungan, kemakmuran ekonomis dan kesetaraan sosial, baik bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang."

Akan tetapi, definisi ekonomi sirkular yang paling banyak digunakan adalah definisi yang disampaikan oleh Ellen MacArthur Foundation (2012, p.7), yaitu " satu sistem industrial yang dengan sengaja dan didesain restoratif atau regeneratif. Sistem yang menggantikan konsep end-of-life dengan restoratif, beralih ke penggunaan energi terbarukan, membatasi penggunaan bahan kimia beracun yang menghalangi untuk digunakan kembali, bertujuan membatasi limbah melalui desain terbaik material, produk sebagai model-model bisnis."

Ekonomi sirkular ini menjadi opsi terbaik untuk menggantikan ekonomi linier (konvensional) yang bertumpu kepada konsep "ambil-gunakan-buang". Dengan pendekatan "ambil-gunakan-buang" sejak dari proses produksi sampai konsumsi, akhirnya menghasilkan sampah atau limbah yang sangat membebani lingkungan hidup.

Laporan SERI (Sustainable Europe Research Institute) pada tahun 2013 menunjukkan data 21 miliar ton material yang digunakan dalam proses produksi, tidak terkandung di dalam produk jadi yang dihasilkan. Artinya material sebanyak itu terbuang. Ini tentu saja sebuah inefisiensi yang amat besar.

Hasil studi Eurostat (2011) mengindikasikan dari input material pada perekonomian Eropa sebesar 65 miliar ton; 2,7 miliar ton terbuang menjadi sampah, dan hanya 40% dari angka tersebut yang bisa digunakan lagi/didaur ulang. Fakta ini bukan hanya menimbulkan masalah lingkungan, namun juga pemborosan sumber energi.

Untuk itulah ekonomi sirkular dipandang menjadi jawaban terbaik untuk menghilangkan berbagai kelemahan ekonomi linier. Tidak hanya di negara Eropa atau maju lainnya, di Indonesia pun ekonomi sirkular sudah menjadi satu agenda penting.

Sebagaimana disampaikan oleh Suharso Monoarfa (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) memasuki sepuluh tahun SDG dan target pengurangan emisi efek rumah kaca sesuai Perjanjian Paris pada tahun 2030, maka pemerintah makin meningkatkan upaya dan memperkuat komitmennya dalam mengatasi masalah perekonomian, sosial, dan lingkungan melalui pembangunan rendah karbon dan ekonomi sirkular.

Perbandingan konsep ekonomi linier dan ekonomi sirkular.

Stahel (2016) mengemukakan bahwa ada tiga jenis perekonomian industrial, yaitu linier, sirkular, dan kinerja.

Ekonomi linier bisa digambarkan seperti arus sungai yang mengalir, yang mengubah sumber daya alam menjadi bahan baku dan produk yang siap untuk dijual setelah melalui serangkaian tahapan-tahapan untuk memberi nilai tambah. Saat terjadi transaksi atas produk/barang maka saat itu terjadilah peralihan kepemilikan dan kewajiban atas risiko dan sampah antara pembuat/produsen/penjual dengan pengguna/konsumen/pembeli. Sang pembeli akan memiliki hak penuh untuk mengambil keputusan apapun atas barang yang dia beli.

Sebagai contoh, jika ada seseorang membeli satu unit motor bekas, maka dia berhak sepenuhnya untuk menggunakan kembali atau mendaur ulang ban lama motorsebagai sandal karet, tali pengikat, atau bantalan peredam kejutataupun mau dibuang begitu saja. Perekonomian linier digerakkan oleh prinsip "makin besar, lebih baik, makin cepat, makin aman". Perusahaan didorong untuk mampu menghasilkan uang dan keuntungan dengan menjual sebanyak-banyaknya produk yang murah dan sangat menarik. Jadi dalam ekonomi linier, sumber daya diambil dan digunakan untuk membuat produk secara terus-menerus tanpa henti, yang pada akhirnya akan habis.

Sementara itu, ekonomi sirkular dapat digambarkan seperti danau. Pengolahan kembali barang maupun material akan menciptakan pekerjaan dan penghematan energi sembari mengurangi konsumsi sumber daya dan menghasilkan limbah. Sebagai ilustrasi, akan lebih cepat dan murah untuk mencuci kembali gelas yang kotor dibandingkan mendaur ulang gelas atau membuat gelas baru. Ada efisiensi sumber daya dan energi yang digunakan.

Prinsip-prinsip dan karakteristik dasar ekonomi sirkular.

Ekonomi sirkular dibangun dari tiga (tiga) prinsip utama (Ellen MacArthur Foundation and McKinsey Center for Business and Environment, 2015):

Prinsip pertama: Mempertahankan serta meningkatkan model alami (natural capital) melalui pengendalian keseimbangan antara material yang bersifat terbatas dengan sumber daya yang dapat diperbarui. Ini dilakukan dengan men-dematerialisasi manfaat. Manfaat sedapat mungkin disampaikan secara virtual. Saat ada kebutuhan sumber daya maka sistem sirkular akan menyeleksi secara cermat dan memilih teknologi serta proses yang memakai sumber daya yan terbarukan atau memiliki kinerja lebih baik.

Prinsip kedua: Mengoptimalkan hasil sumber daya dengan menyampaikan produk, komponen, dan material yang digunakan kepada pemanfaatan tertinggi sepanjang waktu baik melalui siklus teknis maupun biologis. Melakukan rancangan remanufaktur, refurbish, dan daur ulang untuk mempertahankan komponen-komponen dan material-material teknis berputar di dalam serta memberi kontribusi bagi perekonomian.

Prinsip ketiga: Meningkatkan keefektifan sistem melalui pengungkapan dan mengeluarkan eksternalitas yang negatif. Termasuk dalam hal ini adalah mengurangi kerusakan atas sistem dan area seperti makanan, mobilitas, perumahan, pendidikan, kesehatan, serta hiburan. Mengeluarkan eksternalitas dilakukan dengan memelihara penggunaan lahan, udara, air, pencemaran suara, serta menghilangkan bahan-bahan beracun.

Selain ketiga prinsip di atas, ekonomi sirkular juga memiliki karakteristik (Ellen MacArthur Foundation and McKinsey Center for Business and Environment, 2015):

- Sampah/limbah harus dirancang.

Sampah tidak boleh ada dan hanya bisa terjadi karena memang dirancang ada.

- Keanekaragaman menciptakan kekuatan.

Ekonomi sirkular menempatkan keanekaragaman sebagai alat untuk membangun kekuatan melalui penggunaan dan penerapan berbagai jenis sistem, keanekaragaman menjadi penggerak utama fleksibilitas dan ketahanan.

- Energi terbarukan merupakan sumber kekuatan perekonomian.

Energi dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian, namun disini yang dibutuhkan adalah menggunakan energi yang terbarukan secara alami agar mengurangi ketergantungan sumberdaya dan meningkatkan daya tahan sistem.

- Berpikir sebagai satu sistem.

System-thinking digunakan secara luas dalam ekonomi sirkular. Karena akan ada banyak sekali elemen maupun bagian-bagian yang membentuk sistem yang rumit dan menciptakan saling ketergantungan satu dengan lainnya dengan konsekuensi yang bisa mengejutkan.

- Mekanisme harga atau umpan balik lainnya harus mencerminkan biaya yang sesungguhnya.

Harga berperan sebagai pesan di dalam ekonomi sirkular. Maka dia harus mencerminkan biaya secara penuh agar dapat efektif.

Peluang ekonomi sirkular bagi Indonesia.

Ekonomi linier yang selama ini dijalankan salah satu dampaknya adalah menghasilkan inefisiensi dan limbah dalam jumlah yang amat besar. BPS dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan pada tahun 2021, jumlah sampah dari lima sektor yang mewakili 1/3 Pendapatan Domestik Bruto Indonesia dan melibatkan lebih dari 43 juta jiwa (Makanan & Minuman, Tekstil, Konstruksi, Perdagangan, Elektronik) masing-masing adalah:

Circular economy (Ekonomi sirkular): Sebuah pengantar

Data di atas tentu saja mengkhawatirkan. Maka harus terus didorong penerapan pendekatan sirkular untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi secara signifikan ancaman enefisiensi dan limbah dari berbagai sektor tersebut. Setidaknya ada tiga manfaat jika menjalankan pendekatan sirkular dibandingkan pendekatan linier.

1. Manfaat ekonomis.

Diproyeksikan akan menghasilkan tambahan PDB sebesar Rp 593-638 triliun pada tahun 2030.

2. Manfaat lingkungan.

Akan mengurangi limbah dari masing-masing sektor antara 18-52% di tahun 2030. Mengurangi emisi karbon dioksida 126 juta ton dan pengguaan air sebesar 6,3 miliar meter kubik di tahun 2030.

3. Manfaat sosial.

Akan menciptakan 4,4 juta lapangan kerja pada tahun 2030. Menghasilkan tabungan rumahtangga 9% dari anggaran (setara Rp 4,9 juta) per tahun di tahun 2030.

Penutup.

Ekonomi linier yang selama ini digunakan, semakin menunjukkan dampak yang merugikan baik untuk manusia maupun untuk keberlanjutan lingkungan hidup. Sampah atau limbah menjadi ancaman nyata dari pendekatan linier di proses produksi hingga konsumsi.

Ekonomi sirkular terbukti telah berhasil diterapkan di berbagai kawasan industri, sudah saatnya bisa dikembangkan penerapannya di tingkat yang lebih luas hingga tingkat negara. Komitmen dan kesungguhan pemerintah menjadi bukti konkret pendekatan sirkular lebih menjanjikan untuk mendukung keberlanjutan program peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Oleh:Teguh Prasetio, Dosen Prodi Manajemen, Universitas Pembangunan Jaya