Salah satu kultur Jepang modern yang sangat terkenal di mana-mana adalah kebiasaan 'gila kerja' orang di sana. Kebiasaan ini menjadikan negara Jepang sebagai negara maju, namun dengan dampak sosial yang terasa sedikit aneh.

Jam kerja kantor panjang adalah hal normal di sana. Kereta komuter pagi hari saat jam berangkat kerja selalu penuh sesak pekerja kantoran, biasa disebut Salaryman (pria) & Office Lady / OL (wanita), dan itu terjadi setiap hari tanpa henti. Merupakan pemandangan biasa melihat para pekerja Jepang menjalani hari-hari mereka secara teratur, nyaris seperti mesin.

Budaya 'gila kerja' Jepang di tengah pandemi virus Corona

Suasana pagi di stasiun kereta Jepang (Sumber gambar: Funny Junk)

Di masa pandemi Coronavirus / COVID-19 saat ini, berbagai perubahan terjadi di dunia. Bahkan sampai memengaruhi budaya yang sudah mapan selama bergenerasi-generasi. Seperti tradisi Hanami di Jepang yang untuk pertama kali dalam sejarah tidak dapat dilakukan dengan alasan keamanan dan kesehatan publik.

Tentu itu sebuah kewajaran. Lebih baik menunda tradisi sampai wabah hilang daripada memaksakan diri dengan risiko nyawa melayang. Tapi lucunya (atau lebih tepat gilanya), budaya gila kerja orang Jepang sepertinya sama sekali tidak terpengaruh ketakutan pada virus Corona. Dan hal ini tentu saja mencemaskan.

(Video suasana stasiun kereta Jepang di tahun 2012)

Saat Gubernur Tokyo Yuriko Koike menginstruksikan warga Tokyo (yang berjumlah tidak kurang dari 13,5 juta penduduk) untuk tinggal dan bekerja dari rumah hingga setidaknya 12 April 2020, para Salaryman & OL di sana tidak mematuhinya sama sekali. Padahal perusahaan-perusahaan nasional Jepang skala besar seperti Honda, Toyota maupun Nissan setuju dengan maklumat Gubernur Tokyo tersebut. Tapi pemandangan reguler di berbagai stasiun kereta komuter Tokyo seperti tidak menunjukkan tren menurun dalam jumlah penumpang, alias sama saja seperti sebelum wabah virus Corona melanda Tokyo (dan Jepang).

Tidak hanya gila kerja, dalam hal pendidikan nasional juga Jepang seperti tidak mau terpengaruh Coronavirus dan tetap menjalankan agenda pendidikan nasional mereka di level dasar hingga menengah. Penutupan sekolah yang diinisiasi pemerintah mulai 02 Maret 2020 bukannya disambut meriah namun jadi ajang perdebatan soal perlu atau tidaknya hal tersebut dilakukan.

Budaya 'gila kerja' Jepang di tengah pandemi virus Corona

Sebuah bangunan sekolah di negara Jepang (Sumber gambar: Pinterest)

Berbeda dengan RI yang punya Kementerian pemberdayaan anak/keluarga/perempuan, Jepang tidak memiliki desain sama. Jepang hanya memiliki Menteri Negara untuk Urusan Pemuda dan Tindakan untuk Menjaga Angka Kelahiran, di mana posisinya hanya satu dari delapan posisi Menteri Negara dan saat ini dipegang politikus Partai Demokrat Liberal Miyakoshi Mitsuhiro.

Kultur gila kerja Jepang mungkin secara sepintas akan terlihat keren. Wah, berarti mereka rajin bekerja dong. Tapi sebenarnya hal ini justru menakutkan karena secara perlahan akan mematikan, tidak hanya mental namun mati dalam arti harfiahnya. Di Jepang, mati karena bekerja terlalu overdosis bukan lagi berita aneh atau tidak biasa. Sudah banyak korban jiwa sia-sia di sana. Sehingga dengan adanya wabah COVID-19 saat ini, ada harapan kalau kultur gila kerja di Jepang bisa sedikit berubah tensinya.

Tapi, Kecuali pemerintah menutup semua jenis bisnis dan usaha dengan menyisakan beberapa saja yang buka, enggak bakal ada yang mau tetap dirumah saja. Kami ini budak pekerja. Cuitan di Twitter tersebut seakan menggambarkan bagaimana bandelnya orang Jepang soal bekerja walau di luar sana ada wabah yang bisa merenggut nyawa mereka.

Sehingga seruan Work from Home atau WFH seperti tidak ada efek buat para pekerja kantoran di Jepang walau infrastruktur internet mereka 100% mendukung proses tersebut. Dan akibatnya dikhawatirkan persebaran Coronavirus di Jepang dapat mencapai level berbahaya untuk populasi negara ini. Ditambah lagi dengan fakta masih kecilnya angka kelahiran dan banyaknya manusia berusia senja (yang rentan infeksi Coronavirus). Pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe harus segera mengambil langkah ekstrem untuk memastikan populasi Jepang tidak musnah hanya gara-gara kultur gila kerja mereka selama ini.