Kasus kekerasan di ranah pendidikan tiap tahun selalu terjadi. Data Komisi Perlindungan Anak meliputi beragam kekerasan yang dimulai dari fisik, psikis, hingga seksual. Hal ini khususnya kasus kekerasan murid dan wali murid terhadap guru di Indonesia.

Kekerasan yang terjadi saat ini bukan lagi guru yang menganiaya murid, namun murid yang menganiaya gurunya sendiri. Kekerasan yang terjadi tidak hanya berasal dari pelajar yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dan mahasiswa, bahkan pelajar sekolah dasar pun saat ini sudah berani melawan dan berargumen negatif terhadap gurunya.

Hal ini dapat menandakan melemahnya etika dan tata krama pada murid di negara Indonesia ini. Apabila hal ini terus menerus terjadi, kehormatan guru di mata muridnya lama-lama akan berkurang atau bahkan menghilang.

Beberapa kasus yang terjadi di tahun 2018 salah satunya di sekolah di Sampang, Madura yang dilansir oleh Kompas.com,yakni ketika seorang murid di SMAN 1 Torjun memukuli tepat di pelipis kanan gurunya hingga tersungkur jatuh. Motif murid tersebut melakukan hal itu dikarenakan ia terbawa emosi saat sedang ditegur oleh gurunya lantaran ia tidak mengerjakan tugas yang diperintahi oleh gurunya.

Seusai KBM (kegiatan belajar mengajar), sang guru meninggalkan sekolah dan bergegas pulang ke rumah. Setiba di rumah, korban langsung istirahat karena mengeluh pusing dan sakit kepala. Sekitar pukul 15.00, korban dibawa ke Puskesmas Jrengik, Kabupaten Sampang. Karena pihak Puskesmas tidak mampu menangani, korban kemudian dirujuk ke rumah sakit daerah Kabupaten Sampang. Korban kembali dirujuk ke rumah sakit DR Soetomo, Surabaya.

Pihak rumah sakit kemudian menangani korban dan korban dinyatakan mengalami mati batang otak (MBO), yang menyebabkan seluruh organ tubuhnya tidak berfungsi. Dokter memprediksi korban tidak akan hidup lama. Sekitar pukul 21.40 korban dinyatakan meninggal dunia. Korban kemudian langsung dibawa pulang ke rumahnya di Sampang. Meski termasuk kategori di bawah umur, HI tetap dikenakan Pasal 351 Ayat 3 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.

Pelaku kekerasan bukan hanya berasal dari murid di bangku Sekolah Menengah Atas, tapi pelaku juga berasal murid di bangku Sekolah Dasar. Dilasir oleh Bangkapos.com,tahun 2016 lalu beredar video anak kecil yang menantang seorang guru ketika sedang akan diperingatkan dan dinasihati. Ia terus menatap tajam gurunya sembari membusungkan dada. Murid tersebut sempat mengatakan, lawan badan aku.

Tidak ketinggalan siswa SD tersebut juga mengatai gurunya salah satu binatang. Sang Guru akhirnya meninggalkan siswanya sambil mengatakan anak tersebut agar sekolah di hutan. Anak tersebut justru menyorakkan kata Huu kepada gurunya.

Dari kenyataan kasus kasus penganiayaan yang terjadi ini, bukan saja menandai bahwa ada yang salah mengenai pembelajaran etika dan tata krama murid di sekolah. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan perlunya pembelajaran mengenai pembentukan karakter padaa murid. Proses kegiatan belajar mengajar bukan hanya belajar mengenai prestasi akademik, tapi perlu adanya pembelajaran lebih dalam mengenai etika dan tata krama bagaimana murid bersikap dan menghormati gurunya.

Faktor-faktor penyebab siswa yang berani bersikap tak pantas terhadap gurunya:

1. Psikologis.

Secara garis besar yang menyebabkan murid menganiaya gurunya ialah masalah psikologis. Hal ini cenderung karena sifat emosional yang belum matang sehingga tidak dapat mengontrol emosi pada diri. Faktor psikologis ini dapat dibentuk oleh kebiasaan kekerasan yang terus menerus terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Merasa harga diri lebih tinggi juga dapat memicu diri untuk menganggap orang lain sepele dan tidak segan dengan orang lain.

2. Program pembelajaran.

Mayoritas metode program pembelajaran di Indonesia selalu mengunggulkan di bagian akademis saja sehingga pembelajaran mengenai pengembangan karakter dalam hal etika dan tata krama kurang diperhatikan. Pembelajaran etika dan tata krama di sekolah cenderung bersifat teoritis. Selain itu, program pembelajaran seharusnya bersifat menyenangkan dan bukan malah membebankan dan membosankan sehingga siswa kehilangan gairah dan jenuh dalam proses KBM (kegiatan belajar mengajar).

3. Kemajuan teknologi dan informasi.

Perkembangan teknologi dan informasi yang maju membuat pengaruh dalam pola pikir para siswa.

4. Hubungan guru dan siswa.

Banyak sekali guru yang ingin memosisikan dirinya sebagai guru yang asyik terhadap siswanya sehingga mereka bisa dicap sebagai guru yang gaul. Hal ini juga baik sehingga murid bisa lebih dekat dan tidak takut dalam menanyakan suatu hal sehingga pemikiran muridnya pun dapat bebas untuk bereksplorasi. Namun kedekatan tidak menutup kemungkinan akan berdampak negatif, yakni murid tidak lagi merasa segan dan tidak lagi memandang gurunya sebagai sosok yang perlu ia patuhi.

5. Ketakutan guru.

Guru takut pada hukum dan peraturan secara berlebihan sehingga cenderung membiarkan saja ketika siswanya kurang benar. Bahkan kadang guru merasa bingung untuk berbuat ketika salah satu siswanya berulang kali melanggar peraturan. Tidak hanya itu, guru juga lebih takut pada orang tua, terutama pada sekolah-sekolah yang berbiaya mahal karena di sana murid adalah nasabah, sebagaimana nasabah dalam bank yang harus dihormati dan dilayani.

6. Faktor keluarga.

Faktor lingkungan keluargajuga memberikan pengaruh. Murid yang sudah terbiasa memberontak dan melakukan perlawanan kepada orang tuanya tentu di sekolah dia akan bersikap demikian. Selain itu ada juga kasus yang kerap terjadi para orang tua bersikeras membela anaknya jika terjadi problem di sekolah. Meskipun itu jelas salah anaknya, namun orang tua tetap bersikeras menyalahkan pihak sekolah. Dengan begitu sang anak akan semakin berani melawan gurunya.

7. Pergaulan bebas.

Pergaulan bebas merupakan efek dari moderenisasi kultur yang tidak sesuai dengan adat istiadat Indonesia. Hal ini akan menimbulkan sifat meniru budaya barat yang cenderung bebas tanpa ada ikatan adat istiadat yang telah lama berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Jika dahulu guru disegani, kini guru diserang. Perbedaan yang signifikansangatterasa perbandingannya. Dahulu kasus yang sering terdengar guru menganiaya muridnya, tapi kini sebaliknya.

Berikut ini perbedaan murid zaman sekarang dengan zaman dahulu:

1. Murid zamandulu.

Lebih patuh dan hormat kepada guru bahkan ketika berjalan dan berbicara senantiasa menjaga kesopanannya karena mereka sangat menyegani gurunya. Ketika diberitahu/dinasehati, mereka mendengarkan dan memperhatikannya dengan seksama. Memiliki rasa perhatian dan peduli kepada guru. Jika ada guru yang sakit, langsung beramai-ramai ke rumahnya walau jaraknya jauh. Terkadang mereka melakukan iuran bersama untuk membeli oleh-oleh.

Ketika diperintah guru pun langsung mendengarkan dan bahkan malu dan takut kalau ke sekolah sebelum mengerjakan tugas tersebut. Siswa dulu menganggap guru adalah orang tua sehingga sangat menghormatinya, meskipun guru itu kadang keras. Mengganggap hukuman dari guru adalah pelajaran dan konsekuensi dari sebuah kesalahan. Apabila siswa mengadu ke orang tuanya, malah semakin bertambah hukumannya, namun ia tidak mendapat hukuman dari guru, melainkan dari orang tuanya sendiri.

2. Murid zaman sekarang.

Murid zaman sekarang cenderung kurang menghormati guru, bahkan cenderung berani dan melawan serta berargumen menggunakan kata-kata negatif. Ketika diberitahu/dinasihati tidak langsung mendengar, bahkan kadang membantah. Kurangnya perhatian kepada guru, bahkan lebih senang kalau gurunya tidak hadir dalam proses KBM (kegiatan mengajar belajar). Ketika diperintahkan guru untuk mengerjakan tugas menggerutu dan banyak murid yang masih di bangku Sekolah Dasar meminta tolong kepada orang tua/guru kelasnya.

Ada murid yang juga tidak malu kalau belum mengerjakan tugas dan bahkan banyak murid yang merasa bangga dan jagoan jika tidak mengerjakan tugas. Jikalau dihukum/diberitahu malah menantang, bahkan tidak jarang jika dihukum malah senang. Menganggap guru sebagai teman, bukan orang tua. Bahkan tak jarang ada yang panggil bukan sebagai pak guru, misalnya di beberapa sekolah SMA memanggil dengan gurauan.

Pada hakekatnya seorang murid tidak boleh melawan dan semena-mena terhadap gurunya sendiri. Kasus di SMAN 1 Torjun diharapakn kasus yang terakhir dan tidak ada lagi kasus penganiayaan murid terhadap gurunya. Kasus ini seharusnya dijadikan peringatan bahwa guru di Indonesia saat ini butuh perlindungan dan perhatian yang besar tak hanya oleh pemerintah, tapi juga kita semua.

Kasus penganiayaan pada guru dialami di sejumlah daerah, seperti menjadi korban pemukulan orang tua siswa, menjadi korban bullying oleh siswanya sendiri, perlakuan kasar dari berbagai pihak, juga kasus serupa lainnya sangatlah penting menjadi perhatian. Para pihak yang berwenang dalam mengelola guru perlu segera menterjemahkan pasal-pasal dan peraturan yang lebih konkret tentang mekanisme perlindungan bagi seluruh guru di Indonesia kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Guru adalah profesi yang mulia dan penuh denan pengabdian. Masyarakat tahu julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Begitu besar arti seorang guru sejak dahulu bagi kita. Negara ini butuh generasi generasi emas dan berpikir dan berakhlak, untuk memerlukan generasi emas kita butuh guru untuk membimbingnya.

Jika saat ini banyak guru yang terluka, bayangkan bagaimana 5 tahun ke depan, bahkan puluhan tahun kedepannya? Sudah tugas kita dan pihak yang berwenang bertindak untuk melindungi dan peduli terhadap guru Indonesia agar terjamin keselamatan sehingga tetap menjalan profesi yang mulia ini.

Kita semua berharap tidak ada lagi kasus yang terjadi kedepannya seperti kasus yang terjadi daerah Sampang. Cukup kasus Sampang yang menjadi kasus terkahir dalam kekerasan terhadap guru. Guruku Pahlawanku.