Peristiwa pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal tahun 2020 sampai dengan akhir tahun 2021 saat ini memiliki dampak yang hebat sehingga mampu mengubah pola kehidupan sosial individu di seluruh dunia, termasuk pola kehidupan sosial yang terjadi dalam dunia kerja atau organisasi. Pandemi Covid-19 memaksa sebagian besar pekerja mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru dalam menyelesaikan pekerjaannya, yakni setiap pekerja diarahkan untuk bekerja dari rumah (work from home). Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pencegahan terhadap penularan virus yang tingkat penularannya tergolong cukup cepat.

Bagi sebagian besar pekerja, fenomena bekerja dari rumah (work from home) mampu menciptakan culture shock atau kejutan budaya, yakni sebuah konsep teoretis dalam kajian ilmu sosial yaitu sikap yang lambat dalam melakukan penyesuaian diri terhadap kondisi lingkungan sosial baru yang ditemui. Salah satu faktor penyebabnya yaitu kebiasaan bekerja dari rumah (work from home) ini belum pernah dilakukan sebelumnya oleh sebagian besar pekerja. Bagi kebanyakan pekerja mereka kerap melakukan rutinitas setiap hari dengan bergegas menyusuri padatnya jalan-jalan utama menuju tempat kerja, akibat dari pandemi Covid-19 yang terjadi mengubah kebiasaannya yang memaksa untuk berdiam diri dalam rumah.

Perubahan kebiasaan para pekerja dalam menyelesaikan pekerjaan dari rumah berpotensi menciptakan terjadinya kondisi psikis yang kronis akibat tekanan psikologi yang sehari-hari membebani pekerja. Kondisi psikis yang demikian lazim dikenal dengan istilah burnout. Selain tekanan akan adanya perubahan kebiasaan yang semula setiap pekerja perlu bekerja dari kantor (work from office) beralih menjadi bekerja dari rumah (work from home), di sisi lain setiap pekerja perlu memikul beban pekerjaan yang lebih tinggi sekaligus perlu memikul tanggung jawab atau peran sosial dalam keluarga. Hal inilah yang mampu membuat kadar burnout yang melekat dalam diri seorang pekerja yang bekerja dari rumah berpotensi akan semakin tinggi.

Fenomena sosial burnout di masa pandemi menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan dari ragam unit sosial yang ada selain dari organisasi, yakni pasangan dan keluarga. Agar kekhawatiran dan kegelisahan dari unit sosial yang ada tidak terjadi berlarut-larut, maka berikut ini adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi burnout dalam dunia kerja di masa pandemi Covid-19.

1. Penanganan langsung dari diri sendiri.

Bentuk penanganan langsung dari diri sendiri terdiri dari beberapa bentuk, antara lain menggunakan teknik relaksasi yang dirancang untuk melepaskan ketegangan fisik terkait pekerjaan. Selain itu seorang pekerja dapat menggunakan coping yang berpusat pada penilaian untuk meyakinkan diri sendiri bahwa diri kita perlu bekerja keras sebagai usaha menciptakan kemajuan bagi perusahaan. Lalu, di sisi lain adanya tanggung jawab untuk memberikan nafkah bagi anggota keluarga. Bentuk penanganan lainnya dari perspektif komunikasi organisasi berupa diskusi terbatas dengan atasan untuk bernegosiasi dalam mengajukan pengurangan beban pekerjaan dan menerapkan manajemen waktu.

2. Penanganan langsung dari organisasi.

Penanganan langsung dari organisasi sebagai upaya menekan terjadinya burnout pada karyawannya melalui program sosialisasi yang dirancang khusus untuk meningkatkan kejelasan dan keterbukaan akan definisi serta peran masing-masing karyawan sehingga beban kerja dapat dipantau dan dikendalikan dengan hati-hati. Di sisi lain seorang atau sekelompok pekerja yang terlibat dalam risiko pekerjaan yang penuh dengan tekanan (stres) yang tinggi dapat diberikan "timeout" atau waktu istirahat sementara selama beberapa hari kerja atau memberikan persetujuan untuk melakukan cuti panjang. Alternatif lainnya yang dapat ditempuh yakni melalui penyediaan waktu kerja yang fleksibel sehingga dapat memecahkanpersoalandari dua sisi yang ada yaitu antara keluarga dan pekerjaan.

3. Dukungan sosial.

Dalam mengatasi burnout bagi seorang pekerja, dukungan sosial menjadi faktor penentu yang tidak dapat dipisahkan, termasuk di antaranya dukungan emosional dalam bentuk pesan lisan yang disampaikan kepada seorang pekerja bahwa mereka merupakan pribadi yang dicintai dan diperhatikan serta diakui keberadaannya atau eksistensinya oleh organisasi. Dukungan emosional melibatkan pesan yang meningkatkan harga diri orang lain atau pesan yang menunjukkan penghargaan tanpa syarat. Selain itu dukungan emosional dapat berupa sikap siap sedia untuk "menyediakan bahu" guna menangis dan bersandar serta mengeluh.

Dukungan sosial lainnya dapat diwujudkan secara nyata dalam bentuk dukungan informasi, dengan penyediaan fakta, data dan saran untuk membantu individu mengatasi persoalan pekerjaan. Informasi yang diberikan berfungsi untuk mengurangi tekanan (stres) terkait pekerjaan seperti konflik peran dan beban kerja. Dukungan informasi juga memberikan kemungkinan bagi tiap-tiap individu untuk memberikan saran kepada seorang pekerja yang mengalami burnout untuk mengatasi ketegangan kelelahan (misalnya, menyarankan untuk berolahraga) sampai melibatkan bantuan fisik atau material yang membantu pekerja mengatasi ketegangan yang terjadi.

Dukungan instrumental menjadi komponen akhir yang terdapat dalam dukungan sosial, yakni melibatkan penyediaan sumber daya dan tenaga kerja yang dibutuhkan karyawan untuk mengatasi kelelahan di tempat kerja. Contohnya seorang rekan kerja yang membantu rekan kerja yang lain untuk menyelesaikan sebuah proyek ketika orang tersebut sedang berjuang melawan tenggat waktu yang ketat.